Selasa, 24 April 2012

Perbedaan System Operasi (SO) x86 (32bit) – x64 (64bit)



32-bit dan 64-bit mengacu pada arsitektur processor.
  • Processor 32-bit artinya register2 nya (unit penyimpanan data terkecil di dalamnya) berukuran 32 bit.
  • Processor 64-bit artinya register2 nya berukuran 64 bit.


Minggu, 08 April 2012

TUGAS NASKAH ANIMASI


Tema          : Kedisiplinan
Judul          : Disiplin Waktu
Logline       : Bagaimana  jika    seseorang  melanggar  kedisiplinan  waktu / menyia-nyiakan waktunya dan  kemudian  harus menanggung resiko dari akibat perbuatannya.
Outline       : seseorang yang bernama jono bangun tidur pukul 06.00 pagi dan bersiap-siap berangkat kerja dan sesampai di tempat kerja jono datang pukul 07.00 tepat. Sedangkan joni bangun tidur jam 06.30 dan langsung menonton tv sampai pukul 08.00 tepat dia baru tersadar kalau sudah waktunya untuk kerja. Sesampai di tempat kerja joni datang pukul 09.00 dan bertemu dengan boz ditempatnya bekerja. Boznya marah-marah dan joni langsung di pecat.!

Sabtu, 07 April 2012

Apa itu Kbps dan kbps ?


Semua pasti tau, perbedaan Kbps dan kbps. Ya.. benar. pada huruf K (besar dan kecil). Itulah perbedaan pertamanya. Perbedaan yang lainnya, ini yang sering membuat orang salah terutama ketika masuk dalam ranah internet. Kawan saya mengatakan “Dikantor kecepatan internetnya hanya 32 Kbps, sedangkan dirumah lebih cepat sampai 128 kbps.”
Padahal 32 Kbps maksudnya adalah 32 Kilobyte per second dimana 1 byte = 8 bit. Sementara 128 kbps maksudnya adalah 128 Kilobit per second. 128 kbps = 128/8 = 16 Kbps. Jadi 32 Kbps pasti lebih cepat dari 16 Kbps. itu pasti… Binggung !!!
Perhatikan hal ini : K = 1024; k=1000; B=Bytes; b=bits
Filesize (Berapa besar file dalam komputer) biasanya disebut dengan nama “kilobytes”, “megabytes” dan “gigabytes”.

Jumat, 06 April 2012

Hand out Dasar Jurnalistik


Hand out Dasar Jurnalistik

Pertemuan 2
Edisi : Konsep Dasar Jurnalistik

Hasil karya jurnalistik yang baik tidak akan lahir begitu saja, proses panjang akan selalu menyertainya, hingga "pena" sang  kuli tinta begitu mantap ditorehkan pada lembaran kertas putih. Banyak karya jurnalistik yang membooming, karena kecerdasan dan improvisasi pemburu disket ini termasuk karya yang bersumber pada “shock news” atau berita kejutan seperti tabrakan kereta api, pesawat jatuh, kebakaran dan lain-lain yang tak pernah terencanakan, namun ada juga karya yang dihasilkan dari perencanaan matang, setelah kuli tinta mencermati sebuah realitas berita.
Setiap karya jurnalistik yang beredar di khalayak, selalu didasari oleh tujuan tertentu, yang hal itu telah terumuskan dalam perencanaan kerja jurnalistik. Di antara tujuan karya tersebut adalah sebagai pembentuk opini atau pendapat masyarakat, media massa mempengaruhi pikiran mayarakat secara cepat dan merata. Berita atau tulisan-tulisan di surat kabar atau majalah bahkan dianggap oleh masyarakat memiliki kebenaran absolut dan final. Berita atau tulisan di surat kabar sering dijadikan acuan masyarakat untuk menentukan pilihan.
Banyak contoh yang mengungkapkan betapa tulisan di surat kabar atau di media elektronik dianggap sudah pasti benar, seperti berita tentang  hasil penelitian seorang ilmuwan yang mengungkap fenomena yang berkembang di masyarakat, misalnya kasus mahasiswa di yogyakarta yang sekian persen pernah melakukan hubungan seksual dan lain-lain, cukup mempengaruhi masyarakat begitu rupa sehingga terbentuk opini. Dengan kata lain karya jurnalistik yang dihasilkan oleh wartawan hingga saat ini memiliki kekuatan dalam mempengaruhi pikiran bahkan keputusan yang hendak diambil oleh masyarakat baik secara personal maupun kelembagaan.
Untuk dapat menghasilkan karya jurnalistik yang cukup apik dan memiliki daya pengaruh yang begitu kuat, perlu persyaratan yang harus diketahui dan dipenuhi oleh mereka yang memproduksi karya jurnalistik. Dan di dalam karya tulisan ini akan dijelaskan secara gamblang tentang jurnalistik, baik sebagai ilmu, karya maupun aktivitas.

A. Pengertian dan Fungsi Jurnalistik
Menilik dari asal kata, Jurnalistik berasal dari kata  diurnal (latin) artinya harian atau setiap hari atau dari kata du jour (Perancis), yang berarti hari  (Effendi, 1993 :95), sedangkan kata journal berarti  catatan harian, yang biasanya berisi  hal-hal yang penting dan menarik (Wahyudi, 1996 :1)

Dengan mengacu asal makna kata tersebut, banyak pakar dan praktisi jurnalistik kemudian mengajukan beberapa pengertian jurnalistik.
1.       Adinegoro dalam bukunya Publisistik dan Jurnalistik menyatakan bahwa jurnalistik adalah keterampilan seseorang untuk mencari, mengumpulkan, mengolah berita, dan menyajikan secepatnya pada khalayak (Adinegoro, 1961).
2.       Onong Uchyana Effendy menyatakan bahwa jurnalistik merupakan teknik mengelola berita mulai dari mendapatkan bahan sampai kepada menyebarkanluaskannya kepada khalayak (Effendy : 1993 :95)
3.       M. Djen Amar menyatakan bahwa jurnalistik merupakan usaha memproduksi kata-kata dan gambar-gambar yang dihubungkan dengan proses transfer ide/gagasan dengan bentuk suara.
4.       Dalam Ilmu publisistik dijelaskan bahwa jurnalistik merupakan salah satu bentuk publisistik / komunikasi yang menyiarkan berita atau ulasan berita tentang peristiwa-peristiwa sehari-hari yang umum dan actual dengan secepat-cepatnya.
5.       Suf Kasman menyatakan bahwa jurnalistik adalah suatu kepandaian untuk menuliskan hal-hal yang baru terjadi dengan cara menaruh perhatian dengan maksud agar diketahui orang sebanyak-banyaknya dan secepat-cepatnya.
6.       JB. Wahyudi melihat pengertian Jurnalistik dari 3 (tiga) sisi, yakni ; sisi ilmu, proses dan karya. (Wahyudi, 1996 :1) 
Pertama, Dari sisi ilmu Jurnalistik dipandang sebagai salah satu ilmu terapan (applied sciences) dari ilmu komunikasi, yang mempelajari keterampilan seseorang dalam mencari, mengumpulkan, menyeleksi dan mengolah informasi yang mengandung nilai berita menjadi karya jur:nalistik, sertamenyajika kepada khalayak, melalui media massa periodic, baik cetak maupun eletronik.              
Kedua, Dari Proses Jurnalistik adalah setiap kegiatan mencari, mengumpulkan, menyeleksi, dan mengolah informasi yang mengandung nilai berita, serta menyajikan kepada khalayak melalui media massa baik cetak maupun elektronik.                                                           
Ketiga, Dari sisi Karya Jurnalistik adalah uraian fakta dan atau pendapat yang mengandung nilai berita, dan penjelasan masalah hangat yang sudah disajikan kepada khalayak melalui media masssa periodic baik cetak maupun elektronik.

Berangkat dari pengertian tersebut, maka dapat dikatakan bahwa jurnalistik merupakan sebuah proses kerja informasi yang menghasilkan karya informasi, di mana proses tersebut secara rinci merupakan proses pencarian, pengumpulan, penyeleksian dan pengolahan informasi yang mengandung nilai berita menjadi karya jurnalistik, dan penyajiannya kepada khalayak melalui media massa periodic cetak maupun elektronik memerlukan keahlian, kejelian dan keterampilan tersendiri, yaitu keterampilan jurnalistik. Penerapan keterampilan jurnalistik harus dilandasi oleh prinsip yang  mengutamakan kecepatan, ketepatan, kebenaran, kejujuran, keadilan, keseimbangan dan tidak berprasangka.

Karena itu pula Luwi Ishwara (2005) menyatakan bahwa Jurnalistik atau jurnalisme, selalu memiliki ciri-ciri yang khas, antara lain
a.   Skeptis, yaitu  adalah sikap untuk selalu mempertanyakan segala sesuatu, meragukan apa yang diterima, dan mewaspadai segala kepastian agar tidak mudah tertipu. Inti dari skeptis adalah keraguan. Media janganlah puas dengan permukaan sebuah peristiwa serta enggan untuk mengingatkan kekurangan yang ada di dalam masyarakat. Wartawan haruslah terjun ke lapangan, berjuang, serta menggali hal-hal yang eksklusif.
b.   Bertindak (action) ,yaitu  wartawan tidak menunggu sampai peristiwa itu muncul, tetapi ia akan mencari dan mengamati dengan ketajaman naluri seorang wartawan.
c.   Berubah, yaitu perubahan merupakan hukum utama jurnalisme. Media bukan lagi sebagai penyalur informasi, tapi fasilitator, penyaring dan pemberi makna dari sebuah informasi.
d.   Seni  dan  Profesi, yaitu  wartawan melihat dengan mata yang segar pada setiap peristiwa untuk menangkap aspek-aspek yang unik.
e.  Peran Pers, yaitu  pers sebagai pelapor, bertindak sebagai mata dan telinga publik, melaporkan peristiwa-peristiwa di luar pengetahuan masyarakat dengan netral dan tanpa prasangka. Selain itu, pers juga harus berperan sebagai interpreter, wakil publik, peran jaga, dan pembuat kebijaksanaan serta advokasi.

Satu hal yang perlu diperhatikan oleh pelaksana jurnalistik adalah media massa yang merupakan sarana untuk penuangan karya. Artinya perlu bagi pelaksana jurnalistik memahami karakter masing-masing media massa yang hendak digunakan. Dalam kaitan itu pula kemudian  Baswichwith (1946) sebagaimana diungkapkan Onong Uhyana Effendy (1993) dan JB Wahyudi (1996) memberikan sebuah pandangan tentang media massa yang hendak digunakan haruslah memenuhi beberapa criteria, yaitu :


a.       Publisitas
Yang dimaksud dengan publisitas (publicity) ialah penyebaran kepada publik atau khalayak. Karena diperuntukkan khalayak, maka sifat dari karya jurnalistik adalah umum. Isi karya jurnalistik terdiri dari berbagai hal yang erat kaitannya dengan kepentingan umum.
b.      Universalitas
Yang dimaksud dengan universalitas (universality) ialah kesemestaan isinya, aneka ragam dan dari seluruh dunia.
c.       Periodesitas
Merupakan keteraturan terbit dan tersiarnya  sebuah karya jurnalistik dalam bentuk harian, mingguan atau lainnya, sepanjang  ada konsistensi dalam “kemunculannya” di masyarakat
d.      Kontinyuitas
Artinya karya yang dihasilkan dan kemudian disajikan lewat media massa tersebut haruslah bekesinambungan, sampai fakta dan pendapat yang mengandung nilai berita itu tidak lagi dinilai penting atau menarik oleh sebagaian besar khalayak.
e.       Aktualitas
Aktualitas (actuality) berarti isi pesan yang disampaikan harus memenuhi nilai “kebaruan” dan keadaan sebenarnya.

Kembali kepada kekuatan daya pengaruh yang dimiliki oleh karya jurnalistik dalam mempengaruhi khalayak, Onong Uchyana Effendi menyatakan bahwa daya kekuatan  itu memiliki relevansi dengan keberadaan pers yang sedari awal memiliki beberapa fungsi, antara lain :
a.   Fungsi  menyiarkan informasi (to inform)
pers memberikan “segepok” informasi mengenai suatu peristiwa yang sedang terjadi, dan informasi tersebut teramat dibutuhkan oleh khalayak. Dengan demikian melalui karya jurnalistik, pers menyampaikan serangkaian gagasan, pikiran, pendapat atau fakta  kepada khalayak sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya masing-masing.
b.   Fungsi mendidik ( to educate)
Fungsi ini dapat diartikan bahwa pers hakekatnya merupakan sarana pendidikan massa, di mana karya jurnalistik yang memuat tulisan ataupun produk citra bergerak lainnya yang mengandung pengetahuan, sehingga khalayak penikmat bertambah pengetahuannya. Fungsi mendidik ini secara implicit dapat berupa berita, secara eksplisit berbentuk artikel, ataupun tajuk rencana, ataupun bentuk lainnya.
c.   Fungsi Menghibur (to entertaint)
Hal-hal yang bersifat hiburan seringkali ditampilkan dalam setiap karya jurnalistik, apakah yang bersifat cetak ataupun elektronik. Tujuan penampilan itu untuk mengimbangi berita yang sifatnya berat dan artikel-artikel yang berbobot. Adapun bentuk dapat berupa cerita, film, cerita bergambar atau yang lainnya.
d.   Fungsi Mempengaruhi. (to Persuate)
Fungsi ini menyebabkan karya jurnalistik memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Dengan kata lain melalui pandangan, pikiran, gagasan yang tertuang dalam setiap karya jurnalistik yang dibaca, dilihat dan dinikmati mampu mempengaruhi jalan pemikiran pandangan dan pendapat masyarakat.


Hand Out Dasar Jurnalistik

Pertemuan 3
Edisi : Historisitas Jurnalistik (global)

Pada mulanya  jurnalistik hanya mengelola hal-hal yang sifatnya informasi saja. Ini terbukti pada acta diurnal  yang merupakan produk jurnalistik pertama pada zaman Romawi kuno ketika Kaisar  Julius Caesar berkuasa. Dikeluarkannya Acta Diurna merupakan “instruksi” dari kaisar agar setiap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan oleh senat setiap harinya diumumkan kepada khalayak dengan ditempel pada semacam papan pengumuman

Berbeda dengan media massa sekarang ini yang selalu hadir di setiap rumah, acta diurnal justru  selalu didatangi oleh masyarakat yang ingin mendapatkan informasi tentang kegiatan yang telah dilakukan oleh anggota senat. Dengan ditempelkannya acta diurnal menjadikan masyarakat yang ingin mengetahui berita itu semakin banyak, kondisi yang demikian itulah menyebabkan sebagian masyarakat pada waktu itu terutama sekelompok tuan tanah dan hartawan merasa “kegerahan”, akhirnya mereka kemudian mengutus para budaknya untuk mencatat setiap informasi yang tertuang dalam acta diurna tersebut. Dengan demikian melalui para pencatata (diurnarii) yang diutus tersebut, berita atau informasi yang tertuang dalam acta diurnal tersebut hadir di rumah kaum tuan tanah dan hartawan.

Dalam perkembangan selanjutnya, para Diurnarii tersebut  tidak lagi terdiri dari para budak, melainkan juga orang-orang bukan budak yang menjual catatan harian mengenai kegiatan senat itu kepada siapapun yang membutuhkan, Isinyapun tidak hanya bersifat resmi yang hanya memberitakan aktivitas senat, melainkan juga berita yang tidak resmi yang menyangkut kepentingan umum dan menarik perhatian khalayak. Dengan kondisi itu, terjadilah persaingan diantara para diurnarii, sehingga  mereka sengaja menyusuri kota Roma sampai ke luat kota  untuk memburu berita. Kondisi demikian terus berlangsung hingga masa kegelapan, yakni runtuhnya kekaisaran romawi yang menyebab eropa mengalami kemuduran (dark ages).

Hilangnya tradisi jurnalistik secara tertulis tersebut, menyebabkan tradisi lisan muncul. Artinya berita yang disampaikan kepada khalayak setelah kemuduran eropa itu lebih banyak disampaikan lewat lisan ; diceritakan dan dinyanyikan oleh sekolompok orang yang dikenal dengan  wandering minstrels yang berkelana dari trempat nyang satu ke tempat lain. Tradisi ini banyak berkembang di negara Swiss, Inggris, dan Perancis.  Baru tahun 1609, di Jerman muncul Avisa Relation Oder Zeitung sebagai surat kabar pertama, kemudian disusul Inggris pada tanggal 23 mei 1622 dengan nama Weekly News. Sementara itu banyak pakar yang menyatakan bahwa yang dianggap sebagai surat kabar pertama dan terbit secara tercetak dan teratur adalah  Oxford Gazette pada tahun 1665, yang dikomandani oleh Henry Muddiman, dialah editor pertama yang memperkenalkan istilah news paper.

Dengan kemunculan media massa tersebut, tenyata membuat pihak gereja dan penguasa perlu mengeluarkan serangkaian undang-undang, yang sifatnya pembatasan terhadap pemberitaan tentang hal yang merusak norma, subversif, menghina Tuhan dan lain-lain yang dapat menurunkan derajat manusia. Pembatasan yang dilakukan oleh pihak gereja dan negara mengundang tantangan dan protes. Misalnya di Inggris tahun 1644 John Milton melalui bukunya Areopagitica ; A Deference Unlicenced Printing, ia hendak memperjuankan kebebasan pers. Bagi Milton, kebebasan pers adaah kebebasan menyatakan pendapat, bebas untuk mengetahui, mengubah, dan memperdebatkan hati nurani di atas segala kemerdekaan.Langkah Milton tersebut dalam perkembangan selanjutnya banyak diikuti oleh para praktisi dan pemikir jurnalistik berikutnya, sebut saja John Erskine  dengan mengeluarkan buku The Right of Man ia mencoba berbuat hal yang sama deperti yang dilakukan oleh Milton.
Dengan kasus seperti itu, Onong Uchyana Effendy mencatat bahwa ada dua perjuangan utama pada abad 18 yang dilakukan oleh pres yang dipengaruhi prinsip liberal, yaitu :
-                    perjuangan yang berkaitan dengan fitnah yang bersifat  menghasut
-                    perjuangan yang bersangkutan dengan hak pers untuk menyiarkan kebijakan yang dilakukan pemerintah.

Pemerintah Inggris ketika itu giat mengadakan pengwasan terhadap kritik yang dilakukan secara terbuka kepadanya dengan jalan penuntutan-penuntutan terhadap  fitnah menghasut. Para hakim yang diangkat oleh kerajaan menaruh simpati kepada upaya yang dilakukan pemerintah dalam mengendalikan pers sehingga tidak menganggu khalayak. Tetapi pada akhirnya prinsip libera l ini mencapai kemenangan dengan dapat terbitnya kebenaran yang di Inggris dibela oleh Parliamentary Act. Dengan demikian pers lebih leluasa dalam menyiarkan beritanya


































Hand Out Dasar Jurnalistik

Pertemuan 4
Edisi : Jurnalistik Media Cetak dan Radio

A.      Jurnalistik Media Cetak
Jurnalistik media cetak, boleh dikatakan model jurnalistik yang paling tua, atau yang kali pertama muncul. Meski model awalnya belum berbentuk media surat kabar atau majalah seperti sekarang ini, namun keberadaan "media tercetak" Acta Diurna yang digagas Julius Caesar boleh dikatakan sebagai tonggak awal lahirnya jurnalistik media cetak, yang kemudian disusul dengan "media tercetak" lainnya, seperti Avisa Realtion Oder Zeitung, Weekly News pada abad ke-16.

Hadirnya jurnalistik cetak di hadapan khalayak luas secara sederhana diarahkan untuk membuka "mata pembaca" dalam mengenali dan memhami berbagi perubahan yang terjadi di permukaan bumi ini. Karena itulah fungsi dari jurnalistik cetak dapat dirinci sebagai berikut :
1.        To inform yaitu menginformasikan kepada pembaca secara objektif tentang apa yang terjadi dalam suatu komunitas, Negara dan dunia.
2.        To comment yaitu mengomentari berita yang disampaikan dan mengembangkannya ke dalam focus berita
3.        To provide, yaitu menyediakan keperluan informasi bagi pembaca yang membutuhkan barang dan jasa melalui pemasangan iklan di media cetak.
4.        Untuk mengkampanyekan proyek-proyek yang bersifat kemasyarakatan yang diperlukan sekali untuk membantu kondisi-kondisi tertentu
5.        Memberikan hiburan kepada pembaca dengan sajian cerita bergambar atau cerita-cerita khusus
6.        Melayani pembaca sebagai konselor yang ramah, menjadi agen informasi dan memperjuangkan hak.

Berpijak dari detail fungsi jurnalistik cetak tersebut, maka secara konseptual jurnalistik cetak tidak hanya dimaknai sebagai ilmu, proses dan karya jurnalistik yang disiarkan kepada khalayak melalui media tercetak saja, tapi harus dimaknai sebagai sarana alternative yang mampu membangkitkan motivasi dan kemandirian masyarakat dalam memahami arti penting sebuah informasi bagi pengembangan kehidupan secara hakiki. Dengan demikian, praktisi jurnalis cetak akan selalu berpikir seribu kali jika ingin mengarahkan produknya ke nilai-nilai vulture journalisme (jurnalistik yang mengikuti selera rendah khalayak), dan tetap konsisten pada pembentukan nilai-nilai yang mengarah pada future journalism (jurnalistik yang mengarahkan khalayak pada kesadaran akan masa depan)

Untuk menuju pada "jalan benar" yang diinginkan, maka pemahaman terhadap karakter dasar media menjadi penting untuk diperhatikan. Dalam hal ini gambaran yang diberikan JB Wahyudi (1996) begitu gamblang dengan merinci sebagai berikut :
  1. Informasi yang akan disajikan dan dapat dinikmati khalayak selalu melalui proses tercetak.
  2. Isi pesan tercetak, karena itu dapat dibaca di mana dan kapan saja (terdokumentasi)
  3. Isi pesan dapat dibaca berulang-ulang. Karena itu, ketika khalayak menginginkan isi pesan tersebut, maka khalayak dapat membacanya kembali, dengan catatan isi pesan tersebut masih terdokumentasi dengan baik.
  4. Hanya menyajikan peristiwa atau pendapat yang telah terjadi. Kondisi ini lebih disebabkan sifat fisik media cetak yang membutuhkan proses panjang dalam menampilkan isi pesan, akibatnya isi pesan yang ada merupakan isi pesan yang tertunda.
  5. Tidak dapat menyajikan tpendapat narasumber secara langsung (audio). Dalam konteks ini, posisi wartawan hanya mampu mengutip pendapat narasumber yang untuk kemudian disalin kembali dalam bentuk tulisan.
  6. Penulisan dibatasi oleh kolom dan halaman
  7. Makna berkala dibatasi oleh hari, minggu, dan bulan
  8. Distribusi melalui transportasi darat/laut/ udara
  9. Bahasa yang digunakan bahasa formal, dengan mempertimbangkan efisiensi dan efektifitas, serta menjauhi makna ganda, namun tetap sederhana atau dalam bahasa yang lain dikatakan bahasa yang digunakan media cetak adalah bahasa tulis yang siapun orangnya dari kelas tukang becak hingga professor menjadi mengerti isi pesan yang ada dalam media tersebut.
  10. Kalimat dapat panjang dan terperinci, dengan rumus easy reading formula (ERS) yang terapliksi dalam pola 5 W + 1 H.

Kesepuluh karakter dasar yang disampaikan JB Wahyudi, secara "kasat mata" tidak akan mungkin dapat memberikan efek langsung terhadap "keberdayaan" khalayak dalam memenuhi kebutuhan informasi. Mengapa demikian? Karena karakter dasar yang disampaikan lebih memberikan pedoman praktisi media cetak dalam menghasilkan karya jurnalistik cetak, yang kreatif, inovatif, menghibur dan cerdas, tidak hanya dari sisi fisiknya yang menarik tapi juga dari kualitas informasinya.

Menghasilkan karya jurnalistik cetak yang "luar biasa" tersebut, tentunya tidak bisa hanya mengandalkan kelincahan tangan si kuli tinta dalam menghasilkan rangkaian kalimat, tapi juga crew lainnya yang berada di belakang redaksi, yaitu redaktur, lay outer, platter, print outer dan lainnya. Artinya karya produk jurnalistik akan hadir di tengah khalayak apabila adalah harmonisasi secara sistemik dari praktisi media cetak secara utuh dan tidak personal parialitas.

Sementara itu produk jurnalistik cetak yang dihasilkan bentuknya cukup beragam. Secara singkat dapat dikatakan adalah semua barang cetakan yang tujuannya memberikan informasi kepada khalayak luas. Namun demikian yang perlu diperhatikan adalah dalam setiap bentuk produk jurnalistik cetak tersebut adalah sub bentuk yang "mewarna" isi produk tersebut. Misanya surat kabar, didalamnya terdapat beragam bentuk tulisan seperti, berita (straight news), features, kolom, artikel, iklan bahkan juga laporan investigasi dan lainnya.


B.      Jurnalistik Media Radio
Keberadaan jurnalistik radio, pada dasarnya merupakan kelanjutan dari jurnalistik media cetak. Hal ini seiring dengan ditemukannya perangkat teknologi radio yang ternyata memiliki kemampuan untuk meningkatkan transfer informasi kepada khalayak luas lebih cepat. Radio yang kali pertama ditemukan seorang ahli fisika berkebangsaan Skotlandia tahun 1864, yaitu James C Maxwell, dalam perkembangannya semakin dilirik kalangan jurnalis untuk menjadi media alternative penyiaran informasi. Semenjak itulah, radio dipandang sebagai media alternatve dalam menyampaikan informasi kepada khalayak selain media cetak.
Dalam perkembangan selanjutnya media radio mulai "dilirik" kalangan jurnalis, dengan alasan  (a) sifat ketersegeraan (actuality), (b) format kemasan (bodystyle), dan (c) lokalitasnya. Lebih dari itu, diliriknya media radio juga disebabkan munculnya kesadaran di kalangan pengelola (owner) dan praktisi (broadcaster) yang berpikir bahwa radio merupakan media informasi strategis, dan adanya perubahan social di masyarakat yang menjadi pendorong utama "bergeraknya" radio dalam menyajikan informasi alternative

Dengan dipilihnya radio sebagai media alternative dalam berjurnalistik, menurut Masduki (2004) menjadikan radio sebagai bagian industri informasi baru yang akan selalu memiliki tiga kepentingan dalam mengembangkan program siarannya, yaitu :
1.         Ada radio yang lebih mementingkan tercapainya tujuan ekonomis sehingga segala informasi yang disiarkan harus berdaya jual tinggi, tidak peduli apakah dampaknya negative atau positive
2.         Ada radio yang ingin agar informasi yang disampaikan bermanfaat bagi harkat kehidupan pendengar, membantu pendengar menyesuaikan diri dengan perubahan dan memperluas perspektif pemikiran.
3.         Ada pula yang menganggap informasi sebagai alat untuk mencapai tujuan ideologis. Informasi yang disampaikan diupayakan dapat membujuk pendengar untuk bersikap sesuai tujuan ideologisnya, keuntungan ekonomis tinggi bukan tujuan prioritas.

Dalam tataran praksis, ketiga kepentingan itu akan "menggoda" praktisi radio untuk menentukan pilihan, apakah menjadikan radio sebagai "alat pemuas" kapitalis yang selalu mengedepankan keuntungan bisnis secara finansial. Menjadi "mesin" ideology kalangan tertentu atau menjadikan radio untuk masyarakat (radio for society) yang menyajikan informasi yang mencerdaskan dan memberdayakan masyarakat secara hakiki. Semuanya bergantung pada "niatan awal" pelaku media radio. Namun, kalau boleh melihat secara idealis positif, maka penggunaan radio sebagai media berjurnalistik harus dikembalikan pada fungsi sosialnya, yaitu :
  1. Radio sebagai media public yang mewadahi sebanyak mungkin kebutuhan dan kepentingan pendengarnya (to inform, to educate and to entertaint)
  2. 'Radio sebagai media penyampaian informasi dari satu pihak ke pihak lain
  3. Radio sebagai sarana mobilisasi pendapat public dalam mempengaruhi kebijakan
  4. Radio sebagai sarana untuk mengikat kebersamaan dalam semangat kemanusiaan dan kejujuran.

Untuk dapat memaksimalkan media radio dalam berjurnalistik secara proporsional dan professional serta memberdayakan khalayak, maka pemahaman terhadap aspek fisikal media radio menjadi perlu diperhatikan. Pemerhatian ini lebih didasari oleh argumentasi bahwa  (a) dengan memahami karakter dasar media radio, jurnalis radio akan mengetahui di mana letak kelebihan dan kekurangan media ini sebagai dasar untuk memproduk karya, (b) dapat menentukan pendekatan terhada khalayak pendengar sehingga informasi yang disampaikan tepat pada sasaran.

Ada beberapa aspek fisikal yang perlu dipahami praktisi radio dalam memaksimalisasi media radio dalam berjurnalistik, yaitu :
1.          Media radio adalah media yang bersifat elektronik dan selalu membutuhkan daya listrik untuk mengoperasionalkannya serta berbasis information and communications technology
2.          Media radio adalah media yang bersifat audio (media dengar) dan non visual (media non lihat)
3.          Media radio adalah media transitory
4.          Media radio adalah media non rinci
Berpijak dari aspek fisikal itu, Errol Jonathan (1994) memberikan gambaran rinci tentang karakter dasar media radio, yang gambaran itu dapat menunjukkan kelebihan dan kekurangan media radio ketika dijadikan wadah berjurnalistik, yaitu :
  1. Menjaga Mobilitas, yaitu radio tetap menjaga mobilitas pendengar tetap tinggi. Radio dapat didengar tanpa harus menghentikan aktivitas.
  2. Sumber Informasi Tercepat,  yaitu tingkat kesegeraannya dalam menyampaikan informasi kepada khalayak, termasuk murah dalam pengoperasiannya
  3. Auditif.  Meski radio hanya suara, bukan visual seperti media catak dan visual, namun dalam beberapa hal memiliki keunggulan, antara lain (a) proses operasionalnya relative lebih mudah, (b) biaya operasional juga lebih murah, (c) komunikasi dengan suara punya kelebihan dalam pendekatan dengan khalayak pendengar.
  4. Menciptakan "theatre of Mind", yaitu kemampuan medium ini menciptakan imajinasi yang sering menggoda rasa penasaran khalayak pendengar dan imajinasi pendengar untuk mengidentifikasi suasana dan situasi berdasarkan suara.
  5. Komunikasi Personal,  yaitu sifat dari radio yang mengandalkan sisi komunikasi personalnya sangat menguntungkan untuk menciptakan keakraban antara media dengan khalayak. Sehingga ikatan kebutuhan dan ketergantungan satu dengan yang lain menjadi kuat.
  6. Murah, Tidak dapat disangkal, dibandingkan dengan media cetak dan televise, radio merupakan mediuam komunikasi yang murah dalam beberapa hal (a) biaya penyelenggaraan siaran, (b) radio penerima juga realtif murah, terutama sesudah era transistor, sehingga dimungkinkan diproduksi radio berukuran saku dan dapat dibawa ke mana-mana, (c) murah, karena khalayak pendengar pada umumnya tidak perlu membayar untuk mendengarkan radio. Ini berbeda dengan media cetak di mana khalayak harus membelinya ketika ingin menikmati.
  7. Bersifat "Mass Distribution",  yaitu radio memiliki kekuatan sebagai distributor informasi, edukasi dan hiburan yang simultan. Radio dapat dinikmati sejumlah pendengar sekaligus.
  8. Format dan Segmentasi Tajam. Dalam perkembangan keradioan modern, kecenderungan sebuah radio harus menajamkan "format" dan "segmentasi pendengar". Hal ini berguna untuk pembentuan citra diri radio, sehingga identitasnya mudah ditengarahi khalayak pendengar, dan memberi pilihan beragam pendengar.
  9. Daya Jangkau Luas.  Radio memiliki keunggulan untuk meraih areal sasaran yang luas. Teknologinya dimungkinkan untuk mengatasi hambatan geografis, cuaca dan system distribusinya.
10.Menyentuh Kepentingan Lokal dan Regiaonal.  Meski siaran radio memungkinkan mencapai radius yang luas, tapi umumnya siaran radio bersifat local dan regional saja.Keuntungannya, radio dapat mengidentifikasi kebutuhan khalayak pendengar secra jelas dan pasti. Paling tidak kebutuhan mengetahui situasi dan kondisi local dan regionalnya.
11.Hanya Suara. Meski suara menjadi salah satu keunggulan dari medium ini, namun dalam beberapa medium yang hanya mengeluarkan suara merupakan kelemahan, terutama ketika menyajikan gambar dan data yang fungsinya memperkuat penyajian.
12.Selintas. Ciri ini merupakan bentuk kelemahan lain dari medium radio, sifatnya yang selintas menjadikan pendengar sulit untuk melakukan pengulangan atau mengulangi informasi yang baru saja didengarnya.
13.Anti Detil. Karena sifatnya yang terbatas pada sisi auditif dan selintas menjadikan penyajian yang dilakukan medium radio tidak begitu rinci. Kondisi ini menjadi sebuah konsekuensi. Bisa dibayangkan jika sajian radio begitu detil, maka pendengar menjadi tidak tertarik, karena bosan.
Lebih dari itu, JB Wahyudi (1996) menambahkan secara lebih praksis dengan menyatakan bahwa ada beberapa poin karakter dasar yang melekat pada media radio itu, antara lain :
  1. Bahwa dalam melakukan aktivitasnya media radio selalu melalui proses pemancaran yang membutuhkan perangkat keras berupa transmisi.
  2. Isi pesan radio lebih bersifat audio yang dapat didengar secara sekilas sewaktu ada siaran.
  3. Siaran yang sekilas menjadikan pesan tidak dapat diulang.
  4. Dapat menyajikan peristiwa atau pendapat yang sedang terjadi
  5. Dapat menyajikan pendapat (audio) narasumber secara langsung atau orisinal
  6. Penulisan dibatasi oleh detik, menit dan jam
  7. Makna berkala dibatasi oleh detik, menit dan jam
  8. Distribusi melalui pemancaran / transmisi
  9. Bahasa yang digunakan formal dan non formal (bahasa tutur)
  10. Kalimat singkat, padat, sederhana dan jelas,dengan rumus easy listening formula (ELF)

Berdasarkan karakteristik jurnalistik radio yang dipengaruhi factor siaran dan pendengar, maka menurut Yanris (2008) radio miliki ciri khas tertentu, yaitu :
1.   TIdak mengenal "kebenaran reserve"
Hal tersebut memiliki maksud bahwa berita dalam radio itu harus mengandung kebenaran yang tepat dan akurat. Hal ini mutlak karena sekali berita itu disiarkan, tidak mungkin diralat. Kalaupun dapat, perlu diingat sifat radio itu sendiri. Pendengar mungkin hanya mendengar ralatnya saja, tanpa pernah mendengar apa yang diralat, atau kebalikannya, pendengar tidak mendengar ralatnya, sehingga berita salah yang diralat dianggap suatu kebenaran
2.   Objektif
Suatu berita yang obyektif tentunya tidak memihak, tidak cacat, dan tidak diwarnai maksud-maksud tertentu. Sehingga hendaknya berita dalam diberikan sebagaimana adanya, tanpa maksud, dan tujuan tertentu.
3.   Bersusila
Radio ditujukan kepada semua pendengar dengan tidak memandang status sosialnya ( khususnya program berita ). Telah disinggung berulangkali bahwa radio bersifat auditif. Karena sifat radio itu sendiri dan keragaman status sosial pendengarnya, hal ini tentu akan membawa imajinasi yang berbeda pada setiap pendengarnya. Oleh sebab itu, hendaknya kesopanan dalam penuturan perlu dijaga.


Dengan memahami secara baik karakteristik media radio baik secara fisikal maupun fungsional mempengaruhi karya jurnalistik yang dihasilkan, yang tentunya mengedapankan aspek auditif, cerdas, kreatif, inovatif dan menghibur. Karya jurnalistik media radio dimaksud dapat berupa :
  1. Berita Radio (Radio news), yaitu sajian laporan berupa fakta dan opini yang mempunyai nilai berita, penting dan menarik bagi khalayak dan disiarkan melalui media radio secara berkala. Jenis berita radio ini terdiri dari :
    1. Berita tulis (writing news/adlibs/spot news), yaitu berita pendek yang bersumber dari media lain atau ditulis ulang atau liputan reporter yang teksnya diolah kembali di studio
    2. Berita bersisipan (news with insert), yaitu berita yang dilengkapi atau di mix dengan sisipan suara narasumber
    3. News feature, yaitu berita atau laporan jurnalistik panjang yang lebih bersifat human interest
    4. Phone in news, yaitu berita yang disajikan melalui laporan langsung reporter via telepon
    5. Buletin berita (news bulletin), yaitu gabungan beberapa berita pendek yang disajikan dalam satu blok waktu
    6. Jurnalisme interaktif (news intervieuw), yaitu berita yang bersumber pada sebesar mungkin keterlibatan khalayak
  2. Majalah Radio (Radio magazine) merupakan paket acara siaran yang dirancang dengan kekhasan tertentu sehingga melekat dibenak yang memadukan beberapa topic, beberapa narasumber, beberapa format penyajian dan beberapa jenis subprogram, namun penyiarannya ditujukan pada satu karakter khalayak. Biasanya disajikan oleh presenter yang berfungsi sebagai linker antara masing-masing subprogram.Dari aspek penyajian Ari R Maricar (2004) membagi majalah radio menjadi dua, yaitu :
    1. Majalah radio tuturan (spoken radio magazine) yaitu majalah radio yang hanya disajikan suara penyiar saja, tidak ada musik atau bunyi apapaun. Majalah ini terbagi menjadi dua, yaitu majalah topic tunggal menyeluruh (one overall topic radio magazine) ,  dan majalah radio tututan topic beragam (variety topic radio magazine)
    2. Majalah radio kombinasi (mixed radio magazine), yaitu majalah radio yang memadukan musik, lag dan tuturan dengan target audiens heteogen.

Beragamnya model majalah radio yang disajikan, namun dari sisi format atau kemasan program pada umumya meliputi (1) bulletin berita ringkas, (2) liputan mendalam, (3) wawancara, (4) documenter, (5) resensi, (6) iklan dan (7) surat pendengar.
3. Vox Pops merupakan istilah lain dari media polling. Vox Pops di radio dilakukan dengan banyak cara, selain menggunakan teknologi seperti SMS, Internet bisa juga dilaksanakan langsung di lapangan. Cara melakukan wawancara vox pops oleh reporter di lapangan.
a. Reporter radio dengan menggunakan mikrofon dan peralatan rekam nya berdiri di tempat dimana masyarakat biasa berkumpul atau lalu lalang (pusat perbelanjaan, stasiun, terminal dll). Reporter kemudian mencegah masyarakat yang lewat sambil menanyakan topik yang sedang dibahas.
b.  Tata cara yang umum dalam melakukan vox pops di lapangan adalah:
·        “… saya reporter radio x ingin mengetahui pendapat anda tentang …?”
·        Pertanyaan yang diajukan ke semua orang harus sama persis. Wawancara
·        dilakukan secara beruntung dalam satu kesempatan.
·        Biasanya sudah direncanakan berapa nara sumber yang akan diwawancarai.













Hand Out Dasar Jurnalistik

Pertemuan 5
Edisi : Jurnalistik Televisi dan Cyber Media

A. Jurnalistik Media Televisi
Dunia pertelevisian di negeri ini mengalami perkembangan yang cukup akseleratif. Pada awalnya hanya satu buah, yaitu TVRI yang notabene miliki pemerintah, kemudian berkembang menjadi cukup banyak jumlah, misalnya tahun 1989, lahir Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI), disusul dengan Surya Citra Televisi (SCTV), Televisi Pendidikan Indonesia (TPI), Indosiar, dan Andalas Televisi (AnTeve). Ketika reformasi bergulir, stasiun televisi menjadi berkembang, maka muncullah stasiun swasta nasional maupun yang berskala lokal, seperti Metro TV, Transformasi Televisi (Trans TV), TV 7 yang kini menjadi Trans 7, Lativi menjadi TV One dan Global TV. Untuk televisi berskala lokal antara lain JTV, Bali TV, Papua TV, SBO TV, Surabaya TV, Delta TV, Batu TV, Jakarta TV, MK TV dan lain sebagainya, di tambah lagi stasiun televisi yang berbasiskan jaringan kabel berlanggaanan.

Munculnya berbagai stasiun televisi tersebut, menjadikan beberapa stasiun mulai menggabungkan diri dalam satu manajemen, seperti RCTI, TPI, dan Global TV tergabung dalam Media Nusantara Citra (MNC). Trans TV dan Trans 7 dimiliki oleh kelompok usaha yang sama. Fenomena yang demikian itu cukup menarik, mengingat secara kuantitas terjadi pengerucutan kepemilikan. Dengan kata lain, pihak stasiun televisi di satu sisi mulai berpikir realistis tentang efisiensi pendanaan, di sisi lain --- ini yang mengkhawatirkan--- akan terjadi "keseragaman" informasi yang berimbas pada tidak variatifnya program siaran yang ditawarkan.

Secara umum stasiun televisi, dapat dibagi menjadi dua, yaitu televisi generalis dan televisi spesialis. Televisi generalis menyajikan program atau acara beragam, dari sinetron, musik, film, acara anak-anak, hingga berita. Untuk televisi nasional, yang termasuk dalam kategori televisi generalis adalah RCTI, SCTV, TPI, Indosiar, AnTeve, Trans TV, , Trans 7, termasuk TVRI. Televisi spesialis menitikberatkan pada program tertentu. Metro TV dan TV One adalah TV spesialis yang menspesialisasikan diri pada program berita. Tetapi, sebagaimana kita saksikan selama ini, televisi generalis maupun televisi berita semuanya menyajikan program berita.

Sementara itu Ashadi Siregar (2008) dalam bahasa yang lain menyebut bahwa terdapat 2 tipologi televisi, yaitu 2 tipe orientasi penyiaran, yaitu tele-visi publik (Public TV) yang terdiri atas televise pendidikan (Educational TV) yang difungsikan sebagai pendukung langsung proses pendidikan seperti pengajaran/instruksional. Tipe stasiun televisi ini dapat dijabarkan adalah subsitusi pelatih/instruktur yang mengajar warga masyarakat untuk mencapai tingkat kemahiran teknis yang dapat digunakan dalam kehidupan sosialnya. Dikenal pula jenis televisi publik lainnya, yang dimaksudkan sebagai institusi yang menjalankan fungsi pendidikan sosial. Stasiun ini dimaksudkan sebagai perpanjangan dari lembaga masyarakat yang berupaya mendidik warga masyarakat agar lebih mengapresiasi kehidupan dalam konteks norma sosial. Dapat berupa kehidupan keagamaan, atau idealisme sosial yang menjadi acuan bagi kehidupan normatif. Dan tipe kedua adalah televisi komersial (Commercial TV) yang mengemban fungsi hiburan dan jurnalisme. Kalau boleh disebut stasiun ini hadir dengan menjual informasi fiksional dan faktual. Dalam kehadirannya ini, dia sendiri sebagai industri yang memiliki sifat ekonomi (economical traits). Pada pihak lain tvkomersial sebagai factor penting sebagai pendukung dalam mekanisme ekonomi pasar.
Gambaran sekilas tentang aspek fisikal dan historical televisi di negeri ini seakan menjadi daftar panjang "keluarbiasaan" media ini sebagai sarana transformasi informasi kepada khalayak. Karena itu. Tidak heran apabila media ini menjadi  "dewa"  bagi dunia jurnalistik, dalam hanya Keterlengkapan produk yang dihasilkannya yang tidak hanya terbatas pada sisi verbal dan audio saja, melainkan telah menyentuh aspek audio visual (bergerak layaknya sebuah realitas, red). Keluarbiasaan inilah yang kemudian oleh Redi Panuji (2005) dikatakan bahwa televise memiliki kekuatan (the power of media) dalam mempengaruhi masyarakat pemirsa televisi. Kondisi ini sangat dimungkinkan karena televisi memiliki beberapa kemampuan sebagai berikut :
  1. Menciptakan kesan (image) dan persepsi bahwa suatu muatan dalam layat kaca (visual mapun audio visual) menjadi lebih nyata daripada reaiitasnya.
  2. Media massa mampu membuat liputan apa yang terjadi menjadi lebih nyata. Tentunya atas kemampuan reporter dalam memformulasikan apa yang terjadi (what happens) itu menjadi symbol-simbol verbal, audio  maupun audio visual.
  3. Penelitian-penelitian "uses and gratifications" yang biasanya terfokus pada efek individu menemukan fakta bahwa komunikasi membangun makna ritual yang menggambarkan bagaimana orang bersama-sama dan bekerja sama secara terus menerus memaknai makna tersebut.
  4. Sejak lama media diyakini menjadi semacam kanal yang berfungsi mengalirkan emosi dan kecenderungan destruktif psikologis lainnya menjadi gejala internal (individu)yang wajar dan normal.

Dengan berbekal kemengertian terhadap potensi dan kekuatan televisi, maka menjadi sangat tepat apabila televisi ini dijadikan "perangkat utama" bagi aktivitas jurnalistik. Tentunya perangkat tersebut akan memiliki nilai guna yang luar biasa, apabila seseorang mau memahami karakter dasarnya sebelum memanfaatkan media ini dalam berjurnalistik. Karakter dasar ini menjadi alat pandu praktisi televise dalam menghasilkan karya jurnalistik artistic, dengan cirri fisik
  1. Media televisi adalah media elektronik, yaitu  ia akan berfungsi apabila ada tenaga listrik,
  2. Media audio visual gerak, artinya visual yang ditampilkan  mengutamakan yang bergerak atau moving effects
  3. Media trancitory atau hanya meneruskan isi pesan
  4. Media pandang dengar,
  5. Media personal
  6. Incorporate media atau media terpadu yang dapat  untuk menyajikan media lain (slide, foto, grafik dll).
Selain keenam tersebut, perlu juga diketahui karakter televisi yang lain, yaitu
  1. Proses pemancaran/transmisi,
  2. Isi pesan audiovisual dapat dilihat dan di dengar sekilas sewaktu ada siaran,
  3. Tidak dapat diulang,
  4. Dapat menyajikan peristiwa/ pendapat yang sedang terjadi,
  5. Dapat menyajikan  pendapat (audiovisual) narasumber secara langsung/orisinal,
  6. Penulisan dibatasi oleh detik, menit dan jam,
  7. Makna berkala dibatasi oleh  detik, menit dan jam
  8. Distribusi melalui pemancaran atau transmisi,
  9. Bahasa yang digunakan formal dan nonformal (bahasa tutur),
  10. Kalimat jelas , singkat, padat dan sederhana.
:
Kesepuluh karakter yang menjadi cirri utama jurnalistik televise tersebut memberikan konsekuensi pada produk-produk yan dihasilkannya, yang secara garis besar terkategori menjadi dua bentuk besar, yaitu
  1. Karya Artistic,
sebuah karya produksi yang bertumpu atau mengutamakan keindahan dan memasukkkan tata cara kaidah jurnalistik, dengan isi pesan boleh bersifat non factual, karenanya sasarannya memuaskan khalayak
Contoh produk yang dihasilkannya adalah program pendidikan dan agama, kesenian dan kebudayaan, hiburan berupa acara musik, sinetron dan komedi, public service dan iklan
  1. Karya Jurnalistik,
sebuah karya produksi yang bertumpu dan mengutamakan kecepatan dan memasukkan tata cara kaidah yang berlaku dalam artistic, dengan isi pesan harus factual atau mengandung nilai kebenaran karenanya sasaran akhir produksinya adalah memuaskan dan meningkatkan kepercayaan khalayak.
Contohnya berita-berita actual (time concern /penyajian terikat waktu), Berita-berita non actual (timeless / penyajian tidak terikat waktu), Penerangan yang bertitik tolak dari berita (information news), documenter yang bernilai sejarah dan lain-lain
































PROSES PRODUKSI INFORMASI
ARTISTIK JURNALISTIK & JURNALISTIK ARTISTIK

 















































B. Jurnalistik Cyber Media
Dari sekian model jurnalistik, mungkin untuk sementara ini hanya jurnalistik cyber media yang boleh dikatakan sebagai jurnalistik terkini dan tercanggih dalam hal penggunaan media sebagai sarana tranformasi informasi. Betapa tidak, media yang digunakan adalah media yang menggunakan teknologi terbaru, yaitu internet (interconnecting networking). Sebuah teknologi yang mampu memberikan kebebasan seseorang untuk mengakses informasi dari segala penjuru dunia dengan hanya meng "klik" saja, bahkan dengan kemampuan teknologi ini pula, seseorang dapat langsung menjadi wartawan yang menghadirkan berbagai bentuk karya tulisnya dan mempublikasikannya melalui email atau weblog yang dimilikinya tanpa bergantung pada lembaga informasi manapun.t
Jurnalistik Cybermedia (Cyber Journalism) dalam bahasa yang lain dikenal dengan nama jurnalisme online. Dikatakan demikian karena pola kerja dan pengaksesan informasi jurnalitik model ini selalu menggunakan media internet (computer).  Dengan media internet inilah produk yang dihasilkan dari kerja jurnalistik cybermedia langsung dapat dinikmati khalayak, tanpa terikat oleh waktu ataupun prosedur baku lembaga penyiaran manapun, bahkan pada saat peristiwa berlangsung, informasi dapat diakses langsung.

Dengan gambaran tersebut, maka jurnalistik model ini memiliki beberapa eunggulan dibandingkan dengan jurnalistik model konvensional. Beberapa keunggulan model ini tertulis dalam sebuah buku yang berjudul Online Journalism. Principles and Practices of News for The Web (Holcomb Hathaway Publishers, 2005), yang isinya sebagai berikut  :
a.       Audience Control. Jurnalisme online memungkinkan audience untuk bisa lebih leluasa dalam memilih berita yang ingin didapatkannya. Pembaca diberikan kebebasab untuk memilih berita yang diinginkan. Banyak sekali informasi yang disajikan lewat internet. Misalnya situs detik.com atau wordpress.com menyediakan jutaan informasi yang dapat dipilih sesuka hati.
b.      Nonlienarity. Jurnalisme online memungkinkan setiap berita yang disampaikan dapat berdiri sendiri sehingga audience tidak harus membaca secara berurutan untuk memahami.
c.       Storage and retrieval. Online jurnalisme memungkinkan berita tersimpan dan diakses kembali dengan mudah oleh audience. Sifat internet yang online memungkinkan berita yang telah disajikan dapat diakses kapan saja. Hal ini karena situs atau blog memiliki tempat hosting tersendiri yang dapat menampung banyak data.
d.      Unlimited Space. Jurnalisme online memungkinkan jumlah berita yang disampaikan / ditayangkan kepada audience dapat menjadi jauh lebih lengkap ketimbang media lainnya. Karena sifat internet yang mampu menggunakan berbagai fitur dan fasilitas tak heran jiak berita yang disajikan tidak terbatas. Sifat internet yang di hosting pada server yang memuat banyak memori memungkinkan kita untuk memberikan berita secara lengkap dan komperhensif.
e.      Immediacy. Jurnalisme online memungkinkan informasi dapat disampaikan secara cepat dan langsung kepada audience. Hanya dengan melakukan upload lewat warnet sesorang langsung dapat memberikan informasi kepada para pembaca. Berita yang baru saja terjadi langsung dapat diketahui oleh pembaca melalui perantara situs atau blog.
f.         Multimedia Capability. Jurnalisme online memungkinkan bagi tim redaksi untuk menyertakan teks, suara, gambar, video dan komponen lainnya di dalam berita yang akan diterima oleh audience. Jurnalisme tak hanya terbatas pada tulisan ataupun audio visual. Lewat media internet semua media dapat digunakan. Contohlan situs RRIpro3.com yang menyiarkan siaran berita secara online lewat internet. Ataupun dapat mengakses video strimming dari situs tersebut.
g.      Interactivity. Jurnalisme online memungkinkan adanya peningkatan partisipasi audience dalam setiap berita. Kita dapat menemukan adanya kolom comment dalam www.kompas.com ataupun blog dari wordpress.com maupun blogger.com. melalui kolom tersebut pembaca dapat menanggapi informasi tersebut dan berpendapat. Kita dapat mendiskusikan informasi tersebut dengan sesama pembaca maupun dengan moderator.

Sebagai bentuk baru dalam berjurnalistik, maka jurnalistik cybermedia ini dapat dikenali wujudnya dengan melihat cirri khasnya, yaitu
a.       Sifatnya yang real time. Berita, kisah-kisah, peristiwa bisa langsung dipublikasikan pada saat keadian sedang berlangsung. Sifat ini boleh dikatakan sama dengan media elektonik lainnya seperti televise, radio, telegrap dan lainnya.
b.      Dari sisi penerbit, mekanisme publikasi real time itu lebih leluasa tanpa dikerangkengi oleh periodesasi maupun jadual penerbitan atau siaran, kapan saja dan dimana saja selama dia terhubung ke jaringan internet maka penerbit mampu mempublikasikan berita, peristiwa, kisah saat itu juga. Inilah yang memungkinkan para pengguna mendapatkan informasi mengenai perkembangan sebuah peristiwa dengan lebih sering dan terbaru
c.       Menyertakan unsur-unsur multimedia adalah karakteristik lain, dengan lain perkataan melalui jurnalisme model ini membuat penyajian bentuk dan isi publikasi lebih kaya daripada model konvensional
d.      Bersifat interaktif. Dengan memanfaatkan hyperlink yang terdapat pada web, karya jurnalisme online dapat menyajikan informasi yang terhubung dengan sumber-sumber lain. Ini berarti pengguna dapat menikmati informasi secara efisien dan efektif namun tetap terjaga dan didorong untuk mendapatkan pendalaman dan titik pandang yang lebih luas bahkan sama sekali berbeda.
e.      Tidak membutuhkan organisasi resmi berikut legal formalnya sebagai lembaga pers, bahkan dalam konteks tertentu organisasi tersebut dapat dihilangkan.
f.         Tidak membutuhkan penyunting/redaktur seperti yang dimiliki surat kabar konvensional, sehingga tidak ada orang yang mampu membantu masyarakat dalam menentukan informasi mana yang masuk akal atu tidak.
g.      Tidak ada biaya berlangganan kecuali langganan dalam mengakses internet sehingga komunikan atau audiens memiliki kebebasan dalam memilih informasi yang diinginkan.
h.       Relatif lebih terdokumentasi Karen tersimpan dalam jaringan digital

Berpijak dari cirri khas tersebut, maka ada beberapa bentuk produk yang dihasilkan dalam jurnalistik cybermedia, antara lain :
a.       Lewat portal berita
      Portal berita di internet dapat dikatakan sebagai gudang informasi. Disana kita dapat memperoleh berbagai macam informasi terkini. Lewat portal berita kita akan mendapatkan berita terupdate yang terjadi. Kelebihan ini karena wartawan dapat melakukan posting dari tempat meliput tanpa harus menyerahkan ke meja redaksi. Biasaynya berita yang disajikan berasal dari orang yang berprofesi sebagai wartawan. Portal berita lokal di Indonesia antara lain detik.com, okezone.com, kompas.com, metrotvnews.com, dll. Untuk portal berita asing dapat diakses di BBC.com , VOAnews.com, CNN.com, Reuters.com, dan sebagainya.
b.      Lewat weblog (blog)
      Web bg atau biasa disebut blog, adalah website yang dikelola oleh individu dengan materi-materi aktual seputar gagasan, komentar, deskripsi kegiatan, atau materi lain seperti gambar, video yang di-update secara berkala. Melalui blog inilah citizen jurnalism berkembang. Kini siapa saja dapat menjadi seorang blogger, sebutan bagi pengguna blog. Melalui blog mereka dapat memberitahukan informasi disekitar mereka tanpa harus dihantui ketakutan. Kebebasan pers lewat internet sangat ditunjang oleh keberadaan blog
Hand Out Dasar Jurnalistik

Pertemuan 6
Edisi : Jurnalistik Baru dan Damai

A.  Jurnalistik Baru
Perubahan yang terjadi dalam masyarakat merupakan salah factor lahirnya pola pemikiran baru dalam berjurnalistik. Wartawan yang telah sekian lama malang melintang dalam kegiatan mentransformasi pesan kepada khalayak luas, merasa belum sepenuhnya puas terhadap apa yang dilakukannya, dalam arti sisi nurani wartawan mulai berteriak ketika dihadapkan pada kenyataan yang memang tidak berpihak pada nurani. Sementara keinginan itu meluap begitu besar, namun "wadah" berjurnalistiknya tidak memungkinkan, karena terbatasi oleh sekat-sekat formal jurnalistik.

Dengan kenyataan itulah, lahir sebuah pola yang dinamakan dengan Jurnalistik Baru. Sebuah pola yang dirasa mampu "menjelentrehkan" semua nuraninya ketika dihadapkan pada realitas yang tidak berpihak pada kebenaran dan keadilan.

Jurnalistik baru merupakan cara baru dalam mengolah dan menyajikan karya jurnalistik yang dikembangkan pada akhir abad 20, dengan cara mensimbiosiskan antara keterampilan berjurnalistik dengan keterampilan bersastra dalam rangka mengungkap fakta untuk membela kebenaran dan keadilan.

Mengingat pola penyampaian pesannya memadukan kerja sastra dan jurnalistik, maka tidak semua pelaku jurnalistik atau wartawan dapat melakukan dengan mudah. Dibutuhkan kemampuan yang tidak cukup hanya mengandalkan kemampuan  berjurnalistik konvensional, tapi juga kecerdasan dan kehalusan emosi penulisnya, sehingga karya ini akan menjadi sebuah karya yang mampu memadukan antara unsure emosi dan intelektual.

Dengan konsep dasar yang ditawarkan tersebut, maka secara sepintas lalu, siapapun akan menyangka bahwa secara fisikal karya jurnalistik baru mirip dengan karya jurnalistik yang berbentuk features. Karya feature memang memadukan kemampuan berjurnalistik dengan sastra, namun ada larangan untuk memasukkkan unsure fiksi dalam berfeature. Nah, di karya jurnalistik baru ini unsure fiksi diperkenankan masuk, namun harus dipilih secara selektif, yaitu yang ada kaitannya dengan fakta yang terungkap dan dikemas dengan gaya sastra.
Secara lebih spesifik karakter jurnalistik baru ini dapat dirinci sebagai berikut :
  1. Fakta yang terungkap dikemas dengan gaya sastra
  2. Memasukkan unsure fiksi untuk memperkuat sisi fakta yang diungkap
  3. Isi pesan cenderung vocal (kritis) tapi cara penyampaiannya halus
  4. Isi pesan mengandung gambaran realitas yang terjadi
  5. Jika terjadi benturan nilai dalam pengungkapan fakta atau isi pesan, harus diungkap secara halus yang mampu menghubungkan karya dengan realitas
  6. Isi pesan memiliki sentuhan pada persolan ; kekuasaan, keserakahan, kekejaman, monopoli dan birokrasi, kesenjangan social dan kemunafikan, sikap apatis dan monoton, keberhasilan dan sebagainya.
  7. Memadukan kerja intelektual yang diimpitkan dengan kerja sastra
  8. Isi pesan harus informative, factual, jujur, adil, terbuka dan berpihak pada kebenaran.

Sementara itu dari produk yang dihasilkannya, bentuk produk jurnalistik baru tak ubahnya dengan produk jurnalistik konvensional yang tersaji pada berbagai media cetak, elektronik ataupun cyber. Artinya pembeda secara fisik memang tidak ada, yang ada hanyalah terletak pada bobot isi pesan atau informasi yang diketengahkan, apakah memiliki nilai ketepatan, keberanian mengungkap fakta, berani membela kebenaran, kedalaman materi bahasan, serta kejelian dalam memberikan kecenderungan pada topic bahasan. Contoh karya yang dapat diketengahkan sebagai karya jurnalistik baru adalah karya Gunawan Muhammad yang diterbitkan pada majalah tempo dengan judul "HAK"

Berikut contoh sebuah karya jurnaliistik baru yang isi pesannya mencoba mengungkap fakta yang di tengah masyarakat.

HARAPAN
Hampir setengah abad lebih aku berdiam di negeri yang selalu memakai slogan Gemah Ripah Loh Jinawi, Tata Tentrem Tata Raharjo. Tapi selama itu pula aku mencandra, tak satupun ketemukan  wajah-wajah sumringah dari masyarakatnya. Ketentrataman yang didambakan tak pernah kunjung datang, yang ada hanyalah sebuah penantian panjang tanpa batas. Sayang, karena sosok judge Boo, apalagi James Bond tak pernah mampir di negri ini, padahal kalau saja mereka mau mampir dalam semenit, mungkin bisa jadi keadilan yang menjadi pilar kemakmuran sebuah negeri akan terasakan, walau sekejab.
Harapan, itulah yang tersirat dari ungkapan seorang anak negeri yang terlalu menanti terwujudnya slogan sacral itu. Tapi yach… beginilah kenyataannya, Padahal negeri ini telah berganti pemimpin sekian kali, bukan hanya di level nasional bahkan di level lokalpun telah terjadi pergantian pemimpin, tapi, toh.. nyatanya slogan Gemah Ripah Loh Jinawi semakin lama semakin jauh untuk dirasakan. Pemimpin di negeri ini inginnya menjadi pemimpin terus tanpa mau peduli keadaan masyarakatnya. Bila peru, masyarakat dikerahkan dan dikorbankan untuk menjadikannya pemimpin, Apa yang terjadi, masyarakat menjadi bodoh, karena satu sama lain saling bertengkar, berpukulan dan berbunuhan, dan anehnya semua mengatasnamakan keadilan dan rakyat jelata dan demokrasi (democrazy ?). Tidak ada perasaan segan, tidak ada perasaan malu, tidak ada perasaan peduli, apalagi empathy, yang ada hanya perasaan jumawa, paling benar, paling disakiti, paling mengerti keadilan, dan paling procedural dan semuanya yang pada intinya mendukung "keakuan" anak negeri yang paling pongah.
Sekali lagi itulah harapan, mbok ya mengerti sedikit saja para manusia yang mengaku pemimpin negeri ini terhadap harapan rakyat yang sesungguhnya. Kalau saja mereka mau mengerti walau sedikit, maka hakekatnya rakyat akan terpenuhi harapannya walau sedikit juga, tapi, semua ini hanyalah harapan, kapan terwujud, kapan bisa dinikmati, hanya anak negeri yang bernama Indonesia yang dapat melakukannnya, sebelum anak negeri "mengimpor" pemimpin dari negeri lain. (Arif Ramadhan, 2006)

B. Jurnalistik Damai
Munculnya pola dalam berjurnalistik yang lebih damai (peace journalism) lebih disebabkan oleh kesadaran yang tinggi terhadap kebutuhan informasi yang factual, berimbang dan bersolusi. Peristiwa-peristiwa yang dimuat dengan pola jurnalistik lama yang mengedepankan pendekatan konflik (war journalism) dinilai semetara kalangan, sebagai upaya memprovokasi khalayak untuk tidak menggunakan potensi "filternya" dengan baik. Hanya sisi intelektual emotif atau emosi ansich yang digunakan wartawan dalam menarik khalayak, akibatnya khalayak menjadi semakin larut dalam dimensi kalah-menang, benci-senang, kuat-lemah, yang kesemuanya mengarah pada konflik yang terselesaikan dengan baik.

Kenyataan inilah yang membuat Prof Johan Galtung, Jake Lynch, dan Annabel McGoldrick pada tahun 1970-an, tergelitik untuk melahirkan konsep baru dalam berjurnalistik, yang kemudian konsep itu dikenal dengan nama Jurnalisme Damai (peace journalism). Sebuah konsep praktek jurnalistik yang bersandar pada pertanyaan-pertanyaan kritis tentang manfaat aksi-aksi kekerasan dalam sebuah konflik dan tentang hikmah konflik itu sendiri bagi. Dan ruhnya adalah mengembangkan liputan yang berkiblat ke masyarakat (people oriented).

Dengan konsep ini, jurnalisme damai hendak menawarkan pendekatan baru dalam berjurnalistik, yaitu pendekatan empathy. Pendekatan ini lebih ditujukan pada kondisi riil dari orang yang menjadi objek liputannya. Jadi semisal sebuah media meliput jalannya konflik, maka pendekatan empathy lebih diarahkan kepada korban-korban konflik daripada liputan kontinyu tentang jalannya konflik, dan memberikan porsi memberi porsi sama kepada semua versi yang muncul dalam wacana konflik, termasuk berusaha mengungkapkan ketidakbenaran di kedua belah pihak, bahkan kalau perlu menyebutkan nama pelaku kejahatan (evil-doers) di kedua belah pihak. Dengan pendekatan ini, produk yang dihasilkan tidak lagi berbicara informasi tentang sesuatu secara sepihak, tapi juga konsekuensi dari kemunculan informasi itu secara konferensif.

Dengan pendekatan ini,  sebenarnya jurnalisme damai hendak melihat kemungkinan adanya pengungkapan akar sebuah masalah yang terkait dengan sejarah, psikologi, sosal, budaya dan lainnya, jika informasi yang disajikan berbingkai konflik dalam segala bentuknya. Dengan pola ini pula, media diharapkan mampu mengungkap fakta lebih komprehensif dan holistic agar dapat membantu menganalisis dan memetakan masalah untuk memunculkan alternative solusi yang bernuansa win-win solution. Karena itupula, focus jurnalisme damai ketika memberitakan kekerasan lebih diarahkan pada efek kekerasan yang tidak tampak (invisible effect of violence), seperti kerusakan sosial, kerusakan budaya moral, hancurnya masa depan, maupun trauma pihak yang menjadi korban, bukan produk fisik dari konflik dan kekerasan semata, seperti potongan mayat, rumah ibadah yang hangus, wanita dan anak terlantar. Hal ini bertujuan untuk menarik empati audience, bahwa konflik yang disertai kekerasan hanya mendatangkan kerugian. Di samping itu aspek keseimbangan pemberitaan (cover both side) tidak hanya pada sisi materinya saja, akan tetapi juga sumber berita. Suara korban seperti orang tua, wanita dan anak-anak harus mendapat tempat lebih banyak dalam pemberitaan dibanding porsi para elit yang bertikai.

Menurut Jacqueline Park (Direktur Asia Fasific International Federation of Journalist) menyatakan, bahwa untuk menjalankan pendekatan ini dengan baik, maka seorang wartawan harus dilengkapi dengan tiga prinsip dasar. Ketiga prinsip dasar ini baik secara teoretis maupun praksis harus dipegang jurnalis dalam melaksanakan tugasnya. Pertama, membuat reportase yang adil dan akurat. Kedua, dalam situasi konflik harusnya kita menghormati hak orang lain. Ketiga, konflik akan menimbulkan amarah dan menghambat perdamaian. Bagaimanapun tugasnya wartawan bukanlah menjadi pemandu sorak pada salah satu pihak.

Dengan prinsip ini, maka seorang jurnalis akan dituntut untuk memindahkan orientasi sumber pemberitaannya dari level elite ke level masyarakat. Menggeser angle liputannya dari fakta kekerasan ke arah pusat penderitaan masyarakat biasa. Jurnalis harus mengungkap penderitaan para korban dan akibat-akibat dari konflik yang menyengsarakan.
Berbagai implikasi konflik yang tidak tampak, dan lebih bersifat psikologis harus mampu diungkap oleh jurnalis. Tujuannya untuk menggugah orang agar sadar bahwa ekses konflik sebenarnya sangat fatal, yakni menimbulkan penderitaan manusia laki-laki, perempuan maupun anak-anak dan orang tua
Untuk mengetahui bagaimana karakter sesungguhnya jurnalistik damai itu dengan cara membandingkannya dengan jurnalistik konvensional yang lebih mengedepankan pendekatan konflik (war journalism), yaitu :
Tabel
Perbedaan jurnalisme damai dan jurnalisme perang
Point
Jurnalisme Damai
Jurnalisme Perang
Penentuan angle dan fokus
1.       Fokus pada proses terjadinya konflik yang terlibat, penyebab pertikaian, permasalahan yang menyertai, berorientasi pada opsi "menang-menang"
2.       Ruang dan waktu yang terbuka, sebab-akibat dalam perspektif sejarah
3.       Memberikan konflik apa adanya
4.       Memberi ruang pada semua suara / versi, menampilkan empathy dan pengertian
5.       Melihat konflik atau perang sebagai sebuah masalah, focus pada hikmah konflik
6.       Melihat aspek humanisasi di semua sisi / pihak
7.       Proaktif, pencegahan sebelum konflik/perang terjadi
8.       Fokus pada dampak non fisik kekerasan (trauma dan kemenangan, kerusakan pada struktur dan budaya masyarakat.

1.       Fokus pada semua konflik ; dua kubu bertikai, hanya satu tujuan (kemenangan), situasi pepearangan, orientasi "menang-kalah"
2.       Ruang dan waktu tertutup ; sebab akibat terbatas arena konflik, mencari siapa yang menyerang duluan.
3.       Ada fakta yang sengaja disembunyikan
4.       Berita memilahkan "kita-mereka", nuansa propaganda, suara dari dan untuk "kita"
5.       Melihat "mereka" sebagai masalah, focus pada siapa yang menang perang
6.       Dehumanisasi dipihak "mereka" , humanisasi di pihak "kita"
7.       Reaktif ; menunggu terjadi konflik baru buat reportase
8.       Fokus hanya pada dampak fisik kekerasan (pembunuhanm luka, kerugian material)
Orientasi liputan
Ketidakbenaran belah pihak, membongkar "cover up"

Hanya mengungkap ketidakbenaran "mereka" dan menutup-nutupi ketidakbenaran "kita"

Cara pandang thd akhir konflik
1.       Fokus pada penderitaan semua ; perempuan, anak-anak, orang tua, memberi suara pada korban
2.       Menyebut nama pelaku dalam kejahatan kedua belah pihak
3.       Fokus pada para penggiat perdamaian di tingkat akar rumput.

1.       Fokus pada penderitaan "kita", memberi suara hanya pada panglima perang
2.       Menyebut nama pelaku kejahatan di pihak "mereka"
3.       Fokus pada penggiat perdamaian di tingkat elit

Pandangan thd "akhir" konflik
1.       Perdamaian = anti kekerasan + hikmah
2.       Mengangkat inisiatif perdamaian dan mencegah perang lanjutan
3.       Fokus pada struktur dan budaya masyarakat damai
4.       Usai konflik ; resolusi, rekonstruksi dan rekonsiliasi
1.       Perdamaian = kemenangan + gencatan senjata
2.       Menyembunyikan inisiatif perdamaian, sebelum kemenangan diraih
3.       Fokus pada fakta dan institusi masyarakat yang terkendali
4.       Usai konflik ; siap bertempur lagi bila "luka lama kambuh"
Hand Out Dasar Jurnalistik

Pertemuan 7
Edisi : Jurnalistik Islami

A. Jurnalistik Islami
Hadirnya jurnalisme islami sebenarnya merupakan tawaran konsep alternative dalam berjunalistik yang baik dan benar. Tawaran ini lahir sebagai reaksi kontemplatif dari banyaknya karya jurnalistik yang lebih profit oriented daripada people oriented atau value oriented dalam melakukan aktivitas,  akibatnya banyak karya jurnalistik hadir berdasarkan pesan sponsor yang nota bene merupakan pelaku industrialisasi kelas tinggi. Sebenarnya hadirnya sponsor dalam institusi jurnalistik sah-sah saja, namun ketika kehadirannya mampu mempengaruhi bahkan mengarah-ngarahkan, maka tak ayal institusi jurnalistik tersebut akan memproduk karya sesuai dengan pesan sponsor. Hal ini berarti, institusi jurnalistik telah terseret dalam "rimba" industrialisasi yang serba mengutamakan capital.

Dengan realitas seperti itu pula, sebuah karya jurnalistik apapun tak akan pernah memiliki bobot yang kuat dalam mencerdaskan masyarakat secara objektif, terlebih jika dikaji secara mendalam bahwa betapa pun obyektifnya penulisan, ia tetap diwarnai konsep ideologi penulisnya, karena tulisan merupakan curahan alam pikiran, uneg-uneg, dalam diri seseorang dari berbagai penomena, yang punya daya pengaruh pada pembaca. Nah itu artinya antara penulis karya dan institusi jurnalistik harus dipola sedemikian rupa, agar produk akhir yang berupa karya jurnalistik dapat memenuhi standart dalam mencerdaskan masyarakat secara hakiki. Dalam konteks ini pula tawaran konsep berjurnalistik islami menjadi berperan penting guna mengangkat berbagai kejadian ke permukaan pembaca menurut pandangan Islam.

Lalu apa sebenarnya konsep jurnalisme Islami itu ?. Secara singkat Jurnalisme Islami merupakan aktualisasi dakwah dalam system kepenulisan untuk mempengaruhi cara berasa, berpikir, dan bertindak manusia untuk mewujudkan ajaran Islam di berbagai aspek kehidupan, atau dapat dikatakan sebagai proses meliput, mengolah dan menyebarluaskan berbagai peristiwa dengan muatan nilai-nilai Islam dengan memathui kaidah-kaidah jurnalistik dan norma-norma yang bersumber pada al-Qur'an dan al-Hadith.

Konsep lain tentang jurnalistik Islami telah banyak disampaikan para ahli, antara lain :
1.       Emha Ainun Nadjib yang menyatakan bahwa jurnalistik islami adalah sebuah teknologi dan sosialisasi informasi (dalam kegiatan penerbitan tulisan) yang mengabdikan diri kepada nilai agama Islam bagaimana dan kemana semestinya manusia, masyarakat, kebudayaan dan peradaban mengarahkan dirinya.
2.       Abdul Muis, menyatakan bahwa jurnalistik islami adalah menyebarkan  (menyampaikan) informasi kepada pendengar, pemirsa, atau pembaca tentang perintah dan larangan Allah SWT.
3.       Dedy Djamaluddin Malik,  menyatakan bahwa jurnalistik islami adalah proses meliput, mengolah dan menyebarluaskan berbagai peristiwa yang menyangkut umat Islam dan ajaran Islam kepada khalayak.
4.       Asep Syamsul Ramli,  menyatakan bahwa jurnalistik Islami adalah proses pemberitaan atau pelaporan tentang berbagai hal yang sarat dengan nilai-nilai Islam.

Sementara itu, karakter dasar jurnalistik Islami secara umum hampir sama dengan karya jurnalistik yang menjunjung nilai-nilai kebenaran secara hakiki, namun ada beberapa karakter yang dapat membedakannya, yaitu :
a.       Menjunjung tinggi nilai keaktualitasan, kefaktualitasan data informasi secara valid dan benar.
b.      Mengedepankan nilai-nilai humanisme yang ditopang oleh nilai-nilai keislaman.
c.       Kritis terhadap lingkungan luar dan sanggup menyaring informasi yang terkadang memiliki nilai bias
d.      Berperan sebagai penerjemah dan frontier spirit bagi pembaharuan dan gagasan-gagasan kreatif kontemporer
e.      Transformasi nilai-nilai keislaman dalam kerangka pemeliharaan dan pengembagangan khazanah intelektual islam
f.         Penyelaras berbagai aliran pemikiran islam yang berkembang

Berpijak dari karakter dasar jurnalistik islami ini, maka seorang wartawan dalam perpektif Islam tidak hanya sekedar informasi kepada khalayak luas, tapi ia juga harus memerankan diri sebagai mua'addib (pendidik) musaddid (pelurus informasi), mujaddid (pembaharu pemikiran Islam), Muwahhid (pemersatu) dan mujahid (pejuang nilai-nilai keislaman). Dengan demikian kata kunci yang dapat disampaikan dalam membangun jurnalisme islami adalah dengan memperhatikan tiga aspek, yaitu
(1) wawasan keislaman yang luas,
(2) keterampilan penulisan yang baik dan
(3) integritas pribadi yang tinggi





























Hand Out Dasar Jurnalistik

Pertemuan 9
Edisi : Profesi Wartawan

A.      Profesi Wartawan
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, disebutkan bahwa wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik. Sementara kewartawanan adalah kegiatan yang sah berhubungan dengan pengumpulan, pengolahan dan penyiaran fakta dan pendapat dalam bentuk berita, ulasan, gambar dan karya jurnalistik lainnya melalui media massa.

Adinegoro menyatakan bahwa wartawan adalah orang yang hidupnya sebagai anggota redaksi surat kabar baik yang duduk dalam redaksi, bertanggung jawab terhadap isi surat kabar maupun di luar redaksi sebagai koresponden yang tugasnya mencari berita, menyusunnya kemudian mengirimkannnya kepada surat kabar yang dibantunya.

BM Diah salah seorang tokoh Pers Nasional, sebagaimana dikutip Subur (2001) lebih suka menyebut wartawan sebagai abdi, hamba yang sukarela dari masyarakat. Ia pembawa berita, penyuluh, pemberi penerangan, pengajak berpikir, pembawa cita-cita.

Sementara itu Cohen (1963) mengajukan dua konsep wartawan, pertama, wartawan atau reporter netral yang mengacu pada gagasan pers sebagai pemberi berita, penafsir dan alam pemerintah (dalam hal ini pers menempatkan diri sebagai saluran atau cermin).Kedua, konsep reporter atau wartawan pemeran serta yang dikenal dengan istilah the traditional fourth estate dalam pengertian pers sebagai wakil public, pengkritik pemerintah, pendukung kebijakan dan pembuat kebijakan

Sebagai salah satu unsur dalam kehidupan pers secara intern, yaitu alat (teknologi), keterampilan dan SDM, wartawan menjadi penentu isi, kegunaan dan tujuan pers, atau dalam bahasa yang lain dapat dikatakan bahwa wartawan merupakan otak utama yang mampu menggerakkan roda transformasi informasi ke khalayak luas. Kondisi itulah yang memberikan konsekuensi bahwa menjadi dan menekuni profesi wartawan tidaklah mudah.

Profesi wartawan menurut Nasrullah (1998) menuntut kegigihan dalam mencari keadilan dan kebenaran tanpa mengenal jam kerja. Ia mengabdi kepada kepentingan umum, berjiwa kepeloporan dan bergerak atas kebebasan yang bertanggng jawab, menjunjung tinggi nilai moral, tidak gampang letih  dalam mencari pengalaman dan menambah pengetahuannya sehingga mampu meningkatkan integritas pribadi wartawan.Dengan demikian sebenarnya profesi wartawan menuntut kesiapan intelektual, mental dan spiritualitas personal.

Sementara itu Kustadi Suhandang (2004) menyatakan bahwa ada beberapa istilah yang perlu dikenal dalam memahami wartawan secara lebih luas, , baik secara formal maupun operasional, yaitu :
1.       Reporter
Reporter merupakan factor yang terpenting dalam semua kegiatan pembuatan berita. Secara operasional, reporter bekerja langsung di bawah penguasaan redaktur tertentu (criminal, kota, olah raga dan lain-lain). Mereka yang tergabung dalam jajaran redaksi disebut desk, Dalam timnya reporter dikenal sebagai beat man dan rekan lainnya disebut leg man. Tugas utama beat man adalah meliput keadaan kota, pengadilan, markas besar kepolisian dan lainnya dalam kerangka mencari bahan berita dan mengadakan pendekatan kepada para pejabat terkait. Sementara tugas Leg man adalah secara khusus meliput peristiiwa-peristiwa tertentu oleh desk-nya. Misalnya menangani wawancara, melaporkan suatu pidato, mengadakan penyelidikan atau mengamati siding-sidang.
2.       Koresponden luar kota
Adalah perwakilan sebuah lembaga pers yang tugasnya memasok berita-berita tentang daerah-daerah yang jauh dari kantor media massanya, namun masih berada dalam satu wilayah di mana surat kabar atau siarannya beredar.
3.       Koresponden luar Negeri
Merupakan perwakilan sebuah lembaga pers yang tugasnya memasok berita-berita tentang daera atau kota atau peristiwa yang terjadi di luar Negara di mana kantor media massa itu berada.
4.       Editor
Jurnalis yang kerjanya di dalam kantor media massa. Mereka bekerja dalam satu tim yang disebut redaksi, dengan tugas utamanya adalah mengedit (menyunting dan merevisi) naskah berita ataupun artikel lainnya yang dating dari para reporter, koresponden, penulis dan para public relations officer.


B.      Standart Kompetensi dan Profesionalitas Wartawan
Kecerdasan seorang wartawan dalam mengkonstruksi realitas informasi yang akan disiarakan ke khalayak luas, akan membantu menambah pengetahuan dan wawasan serta membuka pemahaman pembaca terjadap suatu permasalahan yang sedang terjadi. Wartawan yang cerdas karena profesionalisme yang dibangun dengan baik dan ditandai dengan kualitas atau mutu karya yang dihasilkan wartawan tersebut. Kualitas itulah yang kemudian disebut dengan kompetensi wartawan (Nurulhayat, 2007)

kompetensi menjadi faktor penting yang harus dicapai seseorang berprofesi wartawan atau jurnalis. Sehingga terdapat pembeda antara wartawan asli dengan wartawan gadungan atau istilah populernya "bodrek". Wartawan yang sesungguhnya (diharapkan) bisa berpikir "seribu kali" jika hendak melakukan aksi serupa. Adanya kompetensi, juga menjadi pembeda dalam persoalan intelektualitas dan kualitas.

Kompetensi menurut Prof. Dr. Tarzan Sembiring (2008) merupakan kemampuan seserang dalam melaksanakan kegiatan yang ditunjukkan dengan (a) perencanaan yang dibuat sebelum melakukan kegiatan, (b) disiplin diri, (c) hubungan interpersonal, (d) management waktu, (e) tim kerja, dan (f) profesionalitas. Unsur atau komponen yang harus ada dalam kompetensi adalah pengetahuan, keterampilan, pengalaman, analisis, pengambilan keputusan dan intuisi.

Menurut Ketua Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Universitas Prof DR Moestopo, DR Gati Gayatri, yang dimaksud dengan "Kompetensi Wartawan", kemampuan seorang wartawan melaksanakan kegiatan jurnalistik yang menunjukkan pengetahuan dan tanggung jawab sesuai tuntutan profesionalisme yang dipersyaratkan Menurut Dewan Pers dalam buku "Kompetensi Wartawan", Pedoman Peningkatan Profesionalisme Wartawan dan Kinerja Pers, mencakup beberapa aspek. Yakni aspek penguasaan keterampilan, pengetahuan, dan kesadaran. Ketiga aspek itu, diperlukan dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Kesadaran mencakup di dalamnya, etika, hukum dan karir  Pengetahuan, meliputi pengetahuan umum, pengetahuan khusus dan pengetahuan teori jurnalistik dan komunikasi (sesuai bidang kewartawanan). Sedangkan keterampilan, mencakup penguasaan menulis, wawancara, riset, investigasi, kemampuan penggunaan berbagai peralatan yang terkait dengan pekerjaan wartawan.
Dengan mengacu pada konsepsi tersebut, maka kompetensi wartawan tidak bisa diperoleh begitu saja, tapi harus dilakukan dengan proses yang terstruktur,apakah lewat pendidikan formal atau pelatihan yang terarah. Persoalannya adalah, saat ini wartawan pada umumnya bukanlah lulusan dari pendidikan tinggi khusus jurnalistik. Hal ini tentu saja akan memperpanjang proses pencapaian kompetensi, bila dibandingkan dengan mereka yang lulusan (S-1) jurnalistik atau komunikasi. Lebih parah lagi, perusahaan tempat wartawan ini bernaung langsung saja melepas wartawan tanpa terlebih dahulu di briefing dalam hal keilmuan jurnalistik atau kewartawanan, akibatnya banyak produk yang dihasilkan mengalami kesalahan dan tidak mengindahkan nilai-nilai jurnalistik.

Untuk mengatasi kenyataan ini diatasi dengan adanya pelatihan jurnalistik yang disediakan oleh sejumlah lembaga pendidikan atau pun pengelola media massa, namun hal itu masih amat jarang ada. Pendidikan dan pelatihan menjadi penting, sehingga karir jurnalistik bisa berkembang. Pendidikan dan pelatihan, menjadi syarat bagi seorang jurnalis jika ingin berkembang dan profesional dalam menjalankan pekerjaan. Seorang wartawan yang menjalankan tugas jurnalistik dengan profesional, akan dihargai di muka publik. Pada akhirnya, seorang wartawan atau jurnalis, harus punya kemampuan dan kompetensi di dalam menjalankan profesinya. Tanpa itu semua, mustahil kemajuan di bidang jurnalistik bisa dicapai.

Dengan cara pendidkan dan latihan (Diklat), maka persoalan kompetensi wartawan dapat diselesaikan, sehingga ketika wartawan telah menyelesaikan program-program diklat tersebut, maka seorang wartawan sebagaimana diungkapkan Kitty Yancheff (2000) harus profesional dan memenuhi standart kompetensi kewartawanan sebagai berikut :
1.       Kompetensi-kompetensi penulisan (writing competencies)
Kompetensi ini terkait erat dengan kemampuan menulis wartawan. Sebuah kemampuan yang menjadi ukuran apakah seseorang pantas disebut wartawan atau bukan. Menulis di bidang kewartawanan, bukan sekedar menulis tulisan, tapi bagaimana menulis realitas yang telah direkonstruksikan dalam pikiran dan perasaan. Untuk menuju kemampuan ini seorang wartawan harus selalu menumbuhkan kepekaannya dalam menangkap realitas (metabolisme intelektual), serta keluasannya dalam mereferensi hasil bacaan. Dengan berbekal kedua modal ini, maka kemampuan menulis wartawan akan benar-benar ditantang dan diketahui hasil akhirnya.
2.       Kompetensi-kompetensi performa oral (oral performance competencies)
Bukan hanya kemampuan menulis yang dijadikan acuan bahwa wartawan yang bersangkutan berkualitas (kompeten), tapi juga kemampuan oral wartawan. Artinya dengan kemampuan oral wartawan harus bisa menggali data lebih banyak, sehingga informasi yang tersaji secara luas. Bisa dibayangkan, apabila seorang wartawan kehilangan moment karena sulit untuk melakukan wawancara (oral performance), akibatnya informasi tidak akan pernah tersaji kepada khalayak luas.
3.       Kompetensi-kompetensi riset dan investigatif (research and ivestigative competencies)
Memperhatikan pekerjaan yang dilakukan seorang wartawan, sepintas lalu akan terkesan bahwa wartawan hanyalah mengumpulkan informasi dan kemudian menyajikannya kepada khalayak. Namun, ketika dicermati secara mendalam, pekerjaan yang dilakukan seorang wartawan layaknya seorang peneliti  ketika ia harus menyeleksi sekian data yang menjadi bagian dari realitas yang akan dikontruksinya dalam sebuah pemberitaan, yang sebelumnya telah mengalami proses validasi. Tanpa kerja berpola peneliti, maka informasi yang akan tersaji dan disajikan akan penuh bias dan tidak akurat. Sementara itu, ketika informasi yang dikuak memerlukan pendekatan khusus, karena sifatnya kasuistik yang perlu dibedah, maka wartawan mengggunakan pola detektif, sehingga dalam sebuah kesempatan wartawan melakukan undercover untuk mendapatkan data yang diinginkan. Dengan dua pola kerja ini sebenarnya target yang diinginkan wartawan dalam menyampaikan informasi adalah data yang tervalidasi dan memiliki kedalaman makna
4.       Kompetensi-kompetensi pengetahuan dasar (broad-based knowledge competencies)
Semakn banyaknya kasus kurang jelinya wartawan dalam menyampaikan informasi kepada khalayak, menjadi indikator tingkat pengetahuan dasar yang dimiliki wartawan kurang begitu baik. Kasus ketidakberimbangan dalam memberitakan, narasumber yang dipilih berdasarkan pendekatan konflik, Spinning of word (pelintiiran kata) dan pelibatan subjektivitas diri wartawan dalam merekonstruksi berita, dan lain sebagainya. Kondisi ini lebih disebabkan pengetahuan wartawan tentang hal yang prinsip dalam berjurnalistik perlu ditingkatkan lagi. Mengandandalkan perusahaan jurnalistik untuk mengabdate atau memformat ulang, jelas membutuhkan waktu dan biaya yang tidak kecil. Karena itu penyiapan kompetensi dasar wartawan secara dini lebih diperhatikan dalam bentuk pendidikan dan pelatihan secara berkelanjutan.
5.       Kompetensi-kompetensi aplikasi dasar keterampilan komputer (skills-based computer application competencies)
Satu lagi bentuk kompetensi dasar seorang wartawan adalah penguasaan terhadap perangkat teknologi komputer. Saat ini menjadi syarat minimal seorang menjadi wartawan, bukan hanya dalam hal penggunaan secara aplikatif pragmatis, misalnya hanya untuk mengetik saja, tapi keberadaan teknologi komputer harus digunakan sebagai teknologi yang menopang pekerjaan wartawan secara lebih baik dan efektif efisien.
6.       Kompetensi-kompetensi dasar web (web based competencies)
Berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi ke basis cybermedia menjadi tantangan tersendiri bagi wartawan. Wartawan tidak bisa lagi hanya menguasai komputer sebagai perangkat pendukung penulisan karya, tapi harus dikembangkan lagi ke arah penguasaan dasar dunia maya (web). Itu artinya wartawan harus melek terhadap perkembangan teknologi yang notabene telah menghilangkan sekat-sekat batas negara. Dengan penguasaan dasar cybermedia yang mumpuni, karya jurnalistik yang dihasilkan  semakin baik.
7.       Kompetensi-kompetensi etika (ethics competencies)
Kompetensi di bidang ini harus ada dalam diri wartawan sebelum ia benar-benar menekuni dunia jurnalistik. Meski persoalan etika menyangkut sisi emosi dan kepribadian seseorang, namun dalam dunia kewartawanan menjadi sesuatu yang ditekankan. Wartawan akan menjadi tahu etika kewartawanan, sehingga ia terhindar dari perbuatan-perbuatan yang merugikan diri, profesi dan perusahaannya. Etika akan menjadi dasar pijak wartawan dalam meliput, mengola dan menyebarluaskan informasi khalayak. Tidak ada lagi wartawan amplop yang hanya bekerja jika mendapatkan amplop dari orang atau kalangan tertentu sehingga informasi selalu didasarkan pesanan pemilik kepentingan. Kemandirian dan idealisme tetap terjaga, karena wartawan mengetahui dan memahami bagaimana berjurnalistik yang beretika itu.
8.       Kompetensi-kompetensi legal (legal competencies)
Meski profesi wartawan tidak menuntut kemahiran dalam memahami hukum atau undang-undang, namun seyogyanya seorang wartawan memiliki pengetahuan atau pemahaman yang baik tentang undang-undang atau sistem hukum yang berlaku dalam sebuah negara, bahkan juga dalam sebuah bidang, apakah di bidang ekonomi, sosial, budaya dan lainnya. Karena itu, wartawan harus belajar keras dalam memahaminya, agar apa yang dilakukannya dalam melakukan hunting, atau mengelola data berjalan selaras dengan sistem perundang-undangan yang berlaku dalam satu bidang. Jika kompetensi ini tidak dimiliki, maka wartawan akan kehilangan pijakan dasar dalam memahami sebuah data yang berkaitan dengan sistem hukum tertentu.
9.       Kompetensi-kompetensi karir (career competencies).
Kompetensi karir sangat berkait erat dengan cita-cita seorang wartawan dalam menekuni dunia jurnalistik. Secara ideal wartawan harus mencapai top performance-nya dalam melahirkan karya jurnalistik, misalnya tulisannya semakin tajam dan analitis serta variasi bahasa yang digunakan semakin membumi dan sarat akan makna. Sementara secara teknik keorganisasian, wartawan harus memiliki kompetensi karir yang mumpuni dalam arti ia menjadi sosok yang ready for use ketika diminta untuk menduduki pos-pos tertentu yang lebih tinggi dalam memutar roda manajemen perusahaan penyebar informasi. Tidak ada kata tidak mampu dan tidak siap. Wartawan yang memiliki kompetensi karir telah mampu memprediksi kapan ia harus mencapai top performansinya. Jika kompetensi ini tidak dimiliki, maka tidak ada ruh yang memotivasi wartawan dalam meningkatkan jenjang karirnya baik secara structural maupun fungsional.

Penjelasan tentang standart kompetensi wartawan sebenarnya mengarah pada upaya membentuk wartawan professional, wartawan yang tahu akan konsekuensi logis profesi yang ditekuninya. Dengan tahu dan paham itulah, diharapkan profesionalitas wartawan menjadi terbentuk dengan baik.Dalam kaitan ini pula UU Pers nomor 40/1999 Bab 1 pasal 1 ayat 10 tentang pers dank ode etik jurnalistik wartawan Indonesia (KEWI) beserta penjelasannya menyebut wartawan sebagai profesi yang memiliki profesionalitas, dengan indicator, yaitu (1) otonomo, kebebasan melaksanakan dan mengatur dirinya sendiri, (2) komitmen yang menitikberatkan pada pelayanan bukan pada keuntungan ekonomi pribadi, (3) adanya keahlian, menjalankan suatu tugas berdasarkan keterampilan yang berbasis pada pengetahuan bersistematik tertentu, (4) tanggung jawab, kemampuan memenuhi kewajiban dan bertindak berdasarkan kode etik mengacu pada norma social yang berlaku di masyarakat. (Masduki, 2003 : 36).

Dengan koonteks yang demikian itu, maka profesionalitas wartawan dituntut bukan hanya karena idealisme yang melekat pada profesi itu, tetapi efek media yang begitu besar terhadap public. Media massa menghadirkan pesona yang menyedot perhatian khalayak dalam tiga hal, yaitu (1) Isolasi social. Khalayak yang mengkonsumsi media massa setiap saat akan menjadi eksklusif, (2) Pasar konsumsi. Khalayak akan mudah tergoda oleh gamar hidup yang menawarkan barang konsumsi dan membentuk pasar eksklusif. (3)  Sumber kebijakan. Media kerap lebih mudah diacu pembuat kebijakan dan pilihan-pilihan social politik (Panuju, 1997)

Persoalannya sekarang apakah wartawan sebuah profesi yang mengandalkan profesionalitas dalam kerjanya ?. Dalam konteks ini McQuail (1986) memberikan criteria bangunan tentang profesi wartawan yang professional, yaitu :
  1. Profesi ini adalah pekerjaan yang bersifat fulltime, artinya jam kerja wartawan tidak mengenal batasan waktu sebagaimana pekerja lainnya. Batasan waktu yang dikenal dalam dunia kewartawanan adalah deadline, yaitu situasi yang mengharuskan wartawan menyelesaikan pekerjaannya secara baik dan sempurna
  2. Para praktisinya memiliki komitmen untuk mencapai hasil-hasil dari profesi itu. Wartawan tidak hanya merupakan aktivitas jurnalisme sebagai kerja fisik, komitmen untuk perubahan social justru lebih memicu banyak orang untuk terjun menjadi jurnalis.
  3. Memasuki dan mengikuti suatu profesi dibentuk oleh organisasi yang berstandar profesi, yang hal itu secara professional telah diberikan dalam organisasi kewartawanan.
  4. Profesi yang diikuti oleh suatu pendidikan formal, memiliki bentuk keilmuan yang spesialis. Media memiliki standar keterampila professional dan perguruan tinggi yang khusus membua program studi jurnalistik makin bertaburan.
  5. Ia memberikan pelayanan kepada masyarakat, pada level terendah dalam fungsi penyajian informasi, jurnalis merupakan profesi pelayan social kepada masyarakat.

Sementara itu tokoh pers nasional Adinegoro sebagaimana dikutip Masduki (2003) menyebut beberapa sifat atau karakter agar wartawan memiliki profesionalitas dalam bekerja. Sifat atau karakter tersebut adalah
1.       Minat yang mendalam terhadap masyarakat dan apa saja yang terjadi,
2.       Sikap ramah terhadap segala jenis manusia, pandai membawa diri,
3.       Dapat dipercaya dan menimbulkan kepercayaan  orang yang dihadapinya,
4.       Sanggup berbicara dan menulis dalam bahasa Indonesia dan asing serta local,
5.       Memiliki daya peneliti yang kuat, setia pada prinsip kebenaran,
6.       Memiliki rasa tanggung jawab dan ketelitian,
7.       Kerelaan mengerjakan lebih dari apa yang sudah ditugaskan,
8.       Sanggup bekerja cepat dan dalam deadline,
9.       Selalu bersikap objektif dan terbuka,
10.   Suka membaca dan memperkaya bahasa komunikasinya.

Dengan indicator yang dilontarkan beberapa pakar tersebut, maka professional itu dapat diartikan sebagai sikap independent, menghindari konflik kepentingan baik yang muncul karena bergabung di asosiasi yang berorientasi politik, misalnya partai politik maupun karena menerima pemberian sogokan dari sumber berita.


























Hand Out Dasar Jurnalistik

Pertemuan 9
Edisi : Kelembagaan Pers

A. Kelembagaan Wartawan
Semenjak reformasi bergulir tahun 1998m kelembagaan atau organisasi wartawan semakin tumbuh bak jamur di musim hujan. Kondisi ini lebih disebabkan euphoria kebebasan yang luar biasa masyarakat setelah sekian lama terkungkung dalam kediktatoran rezim Orde Baru. Ketika kran kebebasan terbuka, hampir semua elemen masyarakat Indonesia menumpahkan kegembiaraan dengan membentuk organisasi yang dirasa mampu mewadahi aspirasinya, termasuk di lingkungan wartawan.

Hadirnya lembaga wartawan apapun nama dan bentuknya sebenarnya memberi peraturan dasar yang mencakup asas, tujuan, usaha, organisasi, kepengurusan, keanggotaan dan sebagainya ang menetapkan gerak dan langkah wartawan baik perseorangan maupun berkelompok, dalam melaksanakan profesinya, juga dengan peraturan dasar ini wartawan dapat memperbaiki nasib, meningkatkan kesejahteraan, mempuk kesetiakawanan antar wartawan.

Dari sekian banyak organisasi kewartawanan, sebut saja Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Persatuan Wartawan Muslim Indonesia , Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan lainnya, selalu dilengkapi dengan kode etik. Tujuan organisasi juga menunjukkan keterikatan pada usaha mempertahankan dan menjunjung tinggi nilai-nilai dasar kemanusiaan, keadilan yang disemangati UUD 1945 dan Pancasila.

Melalui Peraturan Rumah Tangga (PRT), disamping mencantumkan persyaratan menjadi wartawan, juga menegaskan wartawan Indonesia diwajibkan menjadi anggota organisasi wartawan Indonesia., dengan satu tekad mewujudkan cita-cita dan idealismenya, yaitu :
  1. Menjadikan masyarakat cerdas, mandiri, sejahtera, adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
  2. Menciptakan kehidupan pers nasional yang sehat, bebas dan bertanggung jawab.

B. Institusi Pers
Kesalahan dalam memahami istilah pers seringkali terjadi. Itu terjadi karena istilah ini seringkali dicampuradukkan  dengan istilah jurnalistik. Orang dengan mudah saja mengatakan bahwa jurnalistik… ya.. surat kabar dan majalah, sedang pers…dianggapnya sebagai wartawan. Padahal pers yang berasal dari kata Press menurut kamus Oxford diartikan sebagai business for printing books etc. Kecuali jika kata press  itu diberi awalan kata the, sehingga menjadi the press yang diartikan sebagai journalist or the news papers. Karena itu pers tidak sama dengan  jurnalistik, meski diakui kegiatan yang dilakukan pers adalah kegiatan jurnalistik.

Lalu kongkritnya apa itu pers. Pers sebenarnya harus dipahami sebagai institusi social. Pemahaman ini didasari oleh pemikiran bahwa pers itu selalu tumbuh dari dalam masyarakat (Society). Nah, dalam konteks ini banyak orang mengatakan bahwa setiap apa yang dilakukan dan disampaikan oleh pers secara normative merupakan manifestasi dari artikululasi sosial atau masyarakat. Satu hal lagi yang perlu diingat bahwa dunia pers adalah dunia informasi. Ini mengisyaratkan sebenarnya dunia pers adalah dunia keterbukaan, transparansi, kebebasan dan kemerdekaan, menghargai pluralisme pendapat dan kepentingan.     Dalam konteks historisitas Indonesia pers senantiasa menyelaraskan perannya dengan kondisi dan tuntutan perjuangan dalam suatu periode ,misalnya
1.       Pada zaman penjajahan Belanda dan Jepang. Pers nasional berperan sebagai pembangkit kesadaran nasional, pemberi inspirasi, penggugah cita-cita dan penggelora semangat perjuangan menuju kemerdekaan dan kedaulatan bangsa dan negara.
2.       Dalam kurun waktu tahun 1945-1950 Pers nasional berperan sesuai dengan tuntutan dan kondisi perjuangan fisik. Ia berperan mengobarkan semangat perjuangan rakyat Indonesia mengusir kaum kolonialis yang mencoba menginjak-injak kemerdekaan yang telah diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945
3.       Ketika rakyat Indonesia terkotak-kota di dalam wadah Negara Republik Indonesia Serikat yang federalis. Pers Nasional berperan menggugah kembali kesadaran berbangsa bertanah air, berbahasa satu. Ia berhasil ikut mengantarkan rakyat Indonesia kembali ke dalam wadah Negara Kesatuan republik Indonesia nasional.
4.       Pers Nasional berhasil pula melewati masa perjuangan demokrasi dalam bentuk partisipasi fungsional yang liberal dan kemudian terpimpin. Kenyataan objektif dalam kurun waktu 1950-1959 dan 1959-1965 memang ditandai oleh perkembangan politik ideology itu.
5.       Sejarah kemudian mencatat tidak kecilnya peranan pers nasional dalam mempercepat proses penghancuran kekuatan PKI dan G.30.S-nya serta dalam proses penumbangan Orde lama. Demikian pula halnya dalam mempercepat proses kelahiran Orde baru.
6.       Di tahun 1998, juga tercatat betapa pers nasional juga berperan “menggelontorkan" rezim Orde baru bersama dengan gerakan reformasi yang didengungkan oleh mahasiswa.

Penggambaran peran pers nasional tersebut, memang terkesan sangat manis. Pers selalu membawa angin surga bagi sebuah perubahan, penuh dengan idealisme dan semua tetek bengeknya yang serba positif. Ini memang harus diakui,namun perlu pengakuan juga kalau pers pembawa “bencana” Tapi itulah fakta realitas  Contoh kecil tentang kehidupan pers di masa orde baru yang begitu tertekan, namun ketika memasuki era  reformasi, pers Indonesia menemukan kembali kebebasannya yang telah hilang karena terpasung selama 32 tahun. Seperti layaknya orang yang baru saja bebas dari “penjara”, pers seakan ingin merasakan semua hal yang tidak didapatkan ketika berada dipenjara. Karena itu tak heran apabila kemudian banyak pers yang berlomba-lomba untuk jor-joran menyampaikan informasi termasuk peristiwa politik ke khalayak luas, sebagai bentuk ekspresi kebebasan. Meski tak jarang dalam menyampaikan informasi tersebut pers melakukan spinning of word, atau sekedar memburu sensasi. Pers ( baik cetak dan elektronik) yang secara idealitas dikonsepsikan menjadi Future Journalism (Jurnalisme masa depan yang memberdayakan khalayak secara cerdas dan bijak), menjadi  terjebak pada praktek-praktek Vulture Journalism (Jurnalisme  yang menuruti selera rendah masyarakat).  Akibatnya dapat ditebak banyak produk media massa yang selalu diorientasikan pada pemenuhan selera rendah masyarakat.

Kondisi tersebut seakan menjadi lebih parah ketika pers Indonesia, dihadapkan pada kenyataan lapangan akan munculnya kompetisi media massa. Entah karena apa---mungkin takut kalah bersaing--- banyak dari pers kita menerapkan jurnalistik yang kurang terpuji. Pers menjadi berorientasi pada mengeruk keuntungan semata (profit oriented) daripada idealisme pers. Kondisi itulah yang disinyalir oleh Novel Ali (2001), dengan mengatakan bahwa pers atau media massa telah mengalami pergeseran paradigma. Jika sebelumnya obsesi media massa atau pers adalah pemenuhan selera public media (give the press the public wants) kini lebih memprioritaskankan pembentukan selera public ( give the press they public should knows). Karena itulah, sangat disayangkan jika kecenderungan tersebut menjadi penyebab terjadinya pelanggaran etika jurnalistik, kalau sudah begini, apakah mungkin pers kita menjadi objective lagi,
Dengan memperhatikan kondisi riil lapangan sebagaimana terungkap dalam pembahasan yang disampaikan, maka sebenarnya Pers dapat dklasifikasikan menjadi tiga keloompok sebagai berikut:
1.   Pers berkualitas (quality newspaper) Penerbitan pers berkualitas memilih cara penyajian yang etis, moralis, intelektual. Sangat dihindari pola dan penyajian pemberitaan yang bersifat emosional frontal. Pers jenis ini sangat meyakini pendapat: kualitas dan kredibilitas media hanya bisa diraih melalui pendekatan profesionalisme secara total. Ditujukan untuk masyarakat kelas menengah atas.
2.  Pers populer (popular newspaper) Pers populer sangat menekankan nilai serta kepenti ngan komersial. Pers ini lebih banyak dimaksudkan untuk memberikan informasi dan rekreasi (hiburan). Sasaran pembaca pers populer adalah kalangan menengah-bawa
3.   Pers kuning (yellow newspaper) Disebut pers kuning karena penyajian pers jenis ini banyak mengeksploitasi warna. Bagi pers kuning, kaidah baku jurnalistik tak diperlukan. Berita tak harus berpijak pada fakta, tetapi bisa saja didasari ilusi, imajinasi, dan fantasi.
Pers kuning menggunakan pendekatan jurnalistik SCC (Sex, Conflict, Crime). Pers kuning lebih banyak ditujukan kepada masyarakat pembaca kelas bawah

Berdasarkan jenis dan wilayah sirkulasinya, pers dapat diklasifikasikan ke dalam lima kelompok yaitu:
1.       Pers komunitas (community newspaper). Pers ini ruang lingkupnya terbatas pada komunitas tertentu yang dalam masyarakat, profesi atau lembaga tertentu Misalnya majalah kedokteran, jurnal ilmu-ilmu sosial, surat kabar komunitas perumahan, dan lain sebagainya.
2.       Pers lokal (local newspaper), Pers ini ruang lingkup atau wilayah sirkulasinya tertuju pada daerah tertentu, misalnya kota atau kabupaten di wilayah Jawa timur. Contoh yang paling kongkrit adalah keberadaan anak perusahaan Jawa Pos, misalnya Radar Surabaya, Radar Mojokerto, Radar Kediri dan lain sebagainya
3.       Pers regional (regional newspaper). Pers ini ruang lingkupnya lebih besar daripada pers lokal, namun tidak sampai menjangkau wilayah lain secara luas. Misalnya pers tersebut hanya beredar di wilayah Jawa Timur, Jawa Barat dan lainnya. Singkat kata skalanya yang pada wilayah propinsi. Contoh jenis pers ini adalah Jawa Pos (Surabaya, Jawa Timur), Pikiran Rakyat (Bandung, Jawa Barat), Harian Merdeka (Semarang Jawa Tengah), Bali Pos (Bali) Papua Pos (Papua), dan lain sebagainya.
4.       Pers nasional (national newspaper). Pers ini ruang lingkupnya menjangkau seluruh wilayah yang ada dalam sebuah negara (nasional). Isi pemberitaannya mampu menangkap sekian informasi dari berbagai daerah di tanah air. Misalnya Kompas, Republika, Tempo dan lain sebagainya.
5.       Pers internasional (international newspaper). Pers ini ruang lingkupnya telah melampaui batas batas negara. Informasi yang disajikan berbagai kejadian yang ada di seluruh dunia. Menggunakan bahasa internasional, media ini didisain untuk melayani berbagai khalayak yang berada di luar negeri. Misalnya The Jakarta Post, Times, dan lain sebagainya.

C. Fungsi pers

Setiap institusi yang lahir, pastilah memiliki fungsi, termasuk dalam hal ini pers. Pers sebagai institusi social memiliki fungsi yang penting dalam komunikasi massa dan kehidupan masyarakat. Melalui pers manusia ingin mencapai komunikasi dengan masyarakat luas, tidak hanya di suatu daerah kecil, tetapi daerah yang luas bahkan sampai masyarakat dunia. Fungsi pers itu hakekatnya bersifat relatif dan bertalian dengan keperluan beraneka ragam di dalam masyarakat dan negara yang berbeda-beda, dan penerapan fungsi pers itu tentu tergantung dari system social dan system politik yang dianut.
Banyak pandangan yang dapat dimunculkan ketika berbicara fungsi pers,namun paling tidak secara umum orang akan mengatakan bahwa pers berfungsi :
1.       To inform,
fungsi ini lebih tertuju pada fungsi dasar sebuah pers yang hanya sekedar menyampaikan informasi atau memberitahukan beberapa kejadian yang patut diketahui khalayak secara luas.
2.       To Educate,  
Mendidik secara tidak langsung kepada masyarakat adalah fungsi yang kedua dari pers. Secara tidak langsung memberikan konsekuensi kepada masyarakat untuk lebih cermat terhadap informasi yang disajikan media. Karena pendidikan yang dimaksudkan dalam fungsi ini bermakna lebih luas, tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan yang sifatnya pengajaran, tetapi memberikan pengetahuan yang dapat dijadikan referensi khalayak dalam melakukan proses pendidikan kepaada diri, keluarga, masyarakat dan Negara secara lebih luas.
3.       To Entertain,
Sulit dibantah rasanya, saat ini pers dalam produknya  selalu menyajiakan beberapa karya yang targetnya adaah menghibur. Mulai dari menampil cerita bergambar di media cetak, sandiwara radio, hingga pada televise yang menyiarkan acara sinetron bahkan pada program-program reality show
4.       Tools of transmitted ideas, desire or human mind,
Fungsi ini sangat terkait erat dengan sosialisasi nilai-nilai kepada masyarakat, dengan cara mentransmisikan ide, hasrat dan pemikiran personal melalui media massa. Melalui media massa ini, masyarakat dapat bertindak dan berperilaku sebagaimana yang diinformasikan media khalayak. Meski secara tidak langsung, fungsi ini memiliki kekuatan yang luar biasa dalam mengubah perilaku masyarakat sebagaimana perilaku yang ada dalam media massa, sifatnya yang laten dan massive mampu membuat kondisi masyarakat yang tradisional menjadi sangat modern secara social cultural, bahkan mampu mengeliminer keberadaan kultur local jika masyarakat setempat tidak memaksimalkan potensi filter yang dimililiki.
5.       Bridging of aspirations
Fungsi ini berkaitan erat dengan kemampuan pers atau media massa memediasi golongan dan kepentingan yang ada di masyarakat. Contohnya dengan kasus pemilihan kepala daerah di suatu tempat. Ketika masing-masing calon saling mengunggulkan diri sebagai salah satu kandidat menyebabkan terputusnya komunikasi politik kedua belah pihak. Hadirnya pers atau media massa menjadi mediator bagaimana masing-masing calon memahami konsep, visi misi yang dimiliki calon lain dengan cara membaca informasi yang disajikan media massa, dan seterusnya. Dalam konteks yang berbeda fungsi mediasi dan sekaligus jembatan aspirasi diarahkan pada upaya penyampaian aspirasi masyarakat kepada penguasa dalam bentuk kritik, dan saran, atau pandangan konstruktif yang memberikan referensi penguasa dalam menentukan sebuah kebijakan. Contoh lain yang paling sederhana pada fungsi ini adalah keberadaan surat pembaca, yang isinya merupakan uneg-uneg masyarakat kepada siapapun yang dirasa perlu.
6.       Organ of public information and opinion (public sphere)
Fungsi ini berkaitan dengan kemampuan pers dalam memainkan perannya sebagai salah satu perangkat berkehidupan, bermasyarakat, bernegara dan berbangsa. Artinya pers dengan media yang dimiliki akan senantiasa menyajikan berbagai informasi apapun kepada khalayak luas, bahkan menyediakan diri untuk melakukan menyampaikan opini kepada siapapun, baik sifatnya kritik ataupun hanya sekedar memberi peringatan. Pers dalam konteks ini merupakan perangkat "perdebatan" dalam sebuah ruang public yang membicarakan permasalahan bersama dan untuk menemukan jalan keluar bersama. Melalui pola tesis, anti tesis dan sintesis diharapkan khalayak mampu memanfaatkan pers secara maksimal. Dengan pola ini pula akan muncul beberapa gagasan-gagasan brillian dalam menyelesaikan permasalahan, dan masyarakat akan menjadi cerdas dan bijak karena menikmati sajian dari berbagai sisi yang berbeda.
7.       Social Controls and The watch dog of the public interest
Fungsi ini merupakan fungsi social dan tanggung jawab moral institusi pers dalam mengawal jalannya kehidupan social yang ada di masyarakat secara keseluruhan. Artinya pers dengan produk informasinya menyajikan sekian banyak referensi kepada masyarakat tentang sesuatu hal, termasuk penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan beberapa kalangan masyarakat. Dalam konteks ini pula perubahan social yang sedang dan akan terjadi di masyarakat juga berada dalam control pers. Ini bukan berarti pers sebagai pengendali, namun pers menjadi rambu-rambu peringatan kepada siapa saja yang akan dan sedang melakukan perubahan social. Melalui fungsi ini pula, keberadaan pemilik kebijakan akan diawasi oleh pers. Sedikit saja melakukan penyimpangan maka pers akan melakukan "teriakan" secara meluas, sehingga masyarakat menjadi sadar dan segara melakukan pelurusan terhadap kebijakan yang sedang mengalami "kebengkokan" ataupun ketidakjelasan.

C. Manajemen Pers
Sebagai lembaga kemasyarakatan yang memiliki karya sebagai salah satu media komunikasi massa, bersifat umum dan terbit secara teratur, maka keberdaan pers secara institusional harus diatur secara professional dan proporsional. Secara professional diarahkan pada pembentukan dan pengembangan sumber daya pers yang mumpuni. Misalnya pertama, bagaimana memaksimalisasi keberadaan teknologi yang menjadi kekuatan utama dalam mendistribusikan produk jurnalistik, Kedua, bagaimana memaksimalisasi insane pers (wartawan) untuk berkembang semakin cerdas dan semakin kuat "sentuhan" berjurnalistiknya, dan yang ketiga adalah produk yang dihasilkannya semakin variatif dengan tetap terjaga kualitasnya. Sementara itu secara proporsional, bahwa upaya pembentukan dan pengembangan sumber daya pers tersebut didasarkan pada perhitungan yang matang dan tngkat kebutuhan yang ada.

Mengelola pers lewat sebuah pola manajemen modern tidak dapat lepas dari prinsip manajemen secara umum, yaitu Perencanaan (Planning), Menggerakkan (Organizing) Tindakan (Actuating ) dan Pengawasan. (Controling ) Artinya Dalam konteks pers, pekerjaan yang diemban Pers meliputi dua kegiatan utama, yaitu manajemen keredaksian dan manajemen bisnis perusahaan.

1. Manajemen Keredaksian.
Dalam manajemen keredaksian yang ditekankan adalah upaya maksimal mengelola sumber daya manusia (SDM) yang terlibat dalam perusahaan pers sehingga mereka sadar dan mampu   secara redaksional. Kemampuan yang dimaksud dalam hal ini adalah keterampilan yang dimiliki sejumlah wartawan dalam melakukan liputan dan pengolahan informasi yang akan disampaikan kepada khalayak luas. Sementara kesadaran menyangkut rasa memiliki, dan tanggung jawab moral terhadap pekerjaan yang telah dibebankan kepadanya. Dengan dua hal ini, maka secara langsung maupun tidak mampu mendukung eksistensi perusahaan..

Kemampuan professional redaktur merupakan kata kunci utama dalam pengelolaan bidang keredaksian. Keberadaan redaktur sangat menentukan kualitas produk informasi yang akan dipasarkan oleh bidang perusahaan.Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa tugas pokok seorang redaktur sangat terkait erat dengan tugas wartawan, reporter serta bagian percetakan. Ini semua menyangkut komitmen bahwa media massa harus selesai cepat sesuai dengan jadual dead line yang telah ditentukan , agar informasi cepat sampai ke tangan khalayak luas seawall mungkin.

Menurut FX Koeworo dkk (1994) sebenarnya kerja seorang redaktur dituntut mematuhi deadline dalam menurunkan copy-copy beritanya. Dengan prinsip manajerial yang sama dengan manajerial pada umumnya, seorang redaktur dituntut secara professional menerapkan prinsip-prnsip manajemen dengan baik dan benar. Dengan demikian, fungsi dan peran utama dari manajemen redaksional adalah mengkonsep dan merencanakan isian produk jurnalistik dengan perencanaan penugasan. Biasanya dalam manejemen keredaksian dibutuhkan seorang coordinator liputan yang bertanggung jawab di lapangan.

Namun dalam beberapa kasus di lapangan sebagaimana  disampaikan Nasrullah (1998) menunjukkan ada beberapa masalah yang kadang terjadi ketika manajemen keredaksian ini dioperasionalisasikan, yaitu : pertama, masih terdapat jumlah wartawan yang lebih banyak daripada volume tugas yang harus di(pengawasan).arap, terutama dalam kegiatan peliputan berita. Penempatan banyak wartawan ini pada awalnya dimaksudkan untuk mengantisipasi tantangan utama bidang redaksional, menyajikan berita menarik dalam waktu yang cepat. Dengan konsentrasi kekuatan wartawan pada suatu liputan, diharapkan bias diperoleh suatu berita yang konprehensif menganai suatu peristiwa.

Tetapi setelah melihat kenyataan yang terjadi di lapangan, tidak selalu jumlah wartawan yang banyak menjamin konprehensifitas suatu berita. Yang seringkali terjadi adalah tumpang tindih tugas pada liputan. Jika ini yang terjadi maka persaingan untuk mendapatkan daftar yang banyak tanpa memperhitungkan sudah oleh wartawan lain. Sebab setiap wartawan berusaha memuaskan keinginan redaktur. Akibatnya berita yang tersaji menjadi tidak konprehensif.

Di lain pihak, kondisi yang seperti ini mempengaruhi kinerja wartawan dalam berproduksi secara professional. Wartawan tidak bisa memenuhi keinginan redakturnya, bahkan tidak jarang kuaitas wartawan dianggap rendah dan selanjutnya hasilnya menjadi tidak efisien.

Kedua, belum rutinnya evaluasi periodic tentang koreksi kualitas penyajian dan hasil penjualan. Ini artinya sebagai suatu lembaga bidang redaksional tidak menentukan jadual evaluasi, sehingga factor-faktor hasil kerja keredaksian dan penualan (pertambangan atau pengurangan) tidak terpakai dalam rangka meningkatkan hasil penyajian.

Ketiga, adanya wartawan yang berada di luar jaringan komunikasi bidang redaksional. Ini dapat dilihat dari sikap redaktur yang tidak memperlakukan wartawan tidak pada tempatnya, misalnya pemuatan berita wartawan dikaitkan dengan ikatan emosional antara wartawan dan redaktur bersangkutan. Bila yang masuk adalah berita milik wartawan yang punya hubungan baik dengannya, maka berita itu diusahakan dimuat, begitu sebaliknya. Kondisi ini sebenarnya bukan hanya menunjukkan kelemahan redaktur yang terwujud dalam kelemahan wartawan dan nilai moral redaktur yang bersangkutan. Ia menghalangi wartawan berprestasi yang tidak punya hubungan baik dengan memasuki jaringan komunikasi bidang redaksional.
Tabel. 1
Susunan Manajemen Keredaksian Media Cetak

 















Tabel. 2
Mekanisme menajemen kerdaksian (penerimaan berita)




 



















D.  Manajemen Bisnis Perusahaan Pers
Satu yang tidak dapat dilepaskan dalam institusi pers adalah manajemen bisnis yang diterapkan dalam institusi pers. Penerapan ini terkait dengan muncul komuditas baru yang bernama informasi. Ini artinya bahwa pers secara institusi sebagai pemroduk informasi harus melakukan upaya memanaj informasi tersebut agar di satu sisi bermanfaat kepada khalayak luas, di sisi lain informasi yang disajikan harus dapat memberikan konsekuensi ekonomi yang dapat digunakan menunjang keberlangsungan institusi pers secara manajerial.

Ada beberapa unsure yang terlibat dalam manajemen bisnis perusahaan pers, pertama, pemimpin umum. Secara hirarkhi pemimpin umum bertanggung jawab atas keseluruhan pengusahaannya, baik ke dalam maupun ke uar. Pemimpin umum perusahan pers yang tergabung dalam SPS (Serikat Penerbit Surat Kabar), dalam hal pertanggungjawabannya terhadap hukum dapat melimpahkan kepada pemimpin redaksi mengenai isi penerbitan.

Kedua, pemimpin redaksi adalah seorang wartawan yang tergabung dalam Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) senior yang dalam penerbitan pers bertanggung jawab atas pelaksanaan redaksional, dan wajib melakukan hak jawab dan koreksi. Pemimpin redaksi dapat memindahkan pertannggungjawabannya terhadap hukum mengenai tulisan kepada anggota redaksi lain atau kepada penulisnya yang bersangkutan.

Ketiga, Pemimpin perusahaan bertanggung jawab terhadap pengusahan penerbitan pers dan menjabarkannya kebijaksanaan pemimpin umum di bidang usaha. Bidang ini menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan modal perusahaan, serta masalah-masalah financial secara umum

Keempat, Pemimpin percetakan bagi perusahaan pers yang telah memiliki sarana cetak, menjabarkan kebijakan yang ditetapkan pemimpin umum di bidang cetak mencetak. Tidak hanya untuk kepentingan penerbitan sendiri, tetapi juga dalam usaha di luar penerbitan pers. Para pemimpin percetakan ini bergabung dalam organisasi pers SGP (serikat Grafika Pers)

Proses pengusahaan pers memang bermula dari sector redaksi yang menyediakan hampir sebagian besar isi penerbitan, dilengkapai sector periklanan yang memasok pendanaan, dan berakhir pada sub sector distribusi dan sirkulasi sampai ke tangan konsumen. Sedangkan sector percetakan yang berada di tengah kegiatan sector redaksi dan sector tata usaha, umumnya masih belum dapat memulai proses kegiatannya apabila sector-sektor redaksi, tata usaha, periklanan dan lainnya belum selesai dengan bahan-bahan yang akan dicetak.

Masing-masing sector yang telah dijelaskan tadi sangat terikat dengan jadual penyelesaian yang telah ditetapkan. Masing-masing harus selesai tepat pada waktunya. Meleset sedikit saja dari jadual yang telah ditetapkan, maka produk penerbitan pers akan terjambat. Hal tersebut dapat mengancam perusahaan penerbitan dan umumnya masyarakat yang kritis akan menilai sebagai peruahaan pers yang manajemennya tidak beres.

Dengan melihat produk keterkaitan dalam perusahaan penerbitan pers tersebut, dengan mudah dapat diisyaratkan bahwa pengelolaannya harus berada di tangan yang berwibawa dan benar-benar professional. Penerbttan pers bagaimanapun juga merupakan satu kesatuan produksi yang meliputi gabungan sector redaksi, yaitu wartawan, koresponden, reporter, juru fotom penyumbang artikel dan lainnya, tata usaha (perikalan, sirkulasi distribusim langganan, agen dan lainnnya) serta percetakan (setting, repro perwajahan dan lain sebaginya

Manajer perusahaan penerbitan pers harus mampu menciptakan, memelihara dan mengembangkan suasana yang serasi agar perusahaan penerbitannya dapat maju dan berkembang. Persaingan dengan penerbitan lain harus dipandang sebagai "hikmah" untuk mawas diri di dalam perusahaannya. Apabila persaingan dengan penerbitan lain dianggap sebagai lawan, maka dapat dipastikan ketidaktenangan bekerja.

Berangkat dari kenyataan tersebut, maka ada beberapa sector yang menentukan berjalan tidaknya manajemen bisnis pers yaitu :
a.       Sektor redaksional yang dikelola oleh seorang pemimpin redaksi, yang hingga kini tetap dianggap palin sentral dalam sebuah perusahaan pers Di mana-mana masyarakat lebih mengenal sosok wartawan daripada mengenal peran penting karyawan di bagian tata usaha atau percetakan.
b.      Sektor tata usaha umumnya menentukan besar kecilnya oplah produk pers, termasuk banyak sedikitnya iklan yang dijaring dan harus dimuat. Mengingat sector tata usaha mencakup pendanaan perusahaan penerbitan, maka tidak mengherankan jika jumlah karyawannya cukup banyak dan bervariasi, namun mereka dikelompokkan dalam bidang bidang tertentu, misalnya bidang sirkulasi, iklan dan lain sebagainya.
c.       Sektor percetakan merupakan bagian paling pelik dalam dunia penerbitan