BAB I
PENDAHULUAN
Meskipun
kebebasan pers di jamin undang-undang, namun tidak ada satu pun surat kabar
atau majalah, bahkan media massa, yang bebas melakukan suatu kesalahan,
kejahatan atau pun penghinaan dan pencemaran nama terhadap seseorang, kelompok,
organisasi, atau instansi tertentu, baik disengaja maupun tidak, karena
kelalaian atau pun kesembronoan. Semua orang menjaga nama baiknya seperti
terhadap barang berharga miliknya dan merupakan suatu penghinaan yang hebat
apabila dicemarkan namanya.
Etika bukanlah belenggu bagi
wartawan, justru menjaga kesadaran moral dan Professional. Mutlak diperlukan,
sebagai Pertanggung jawaban dalam melaksanakan kebebasan pers. Prinsip
kode etik adalah bahwa pers harus berimbang, bersifat netral, akurat, faktual,
tidak mencampuradukan antara fakta dan opini, tidak memasukan hal-hal yang
bersifat pribadi, menghormati asa praduga tak bersalah, tidak bersifat fitnah,
dusta, dan judul tetap mencerminkan isi.
Upaya
untuk memahami makna suatu kode etik dilakukan dengan filsafat etika. Melalui pemahaman filsafat
etika, pelaku profesi dapat melakukan penilaian kritis atas perilaku. Sekaligus ia dapat
mempertanggungjawabkan secara pribadi perilakunya, bukan karena adanya pengawas atau
atasannya, melainkan karena kesadaran nurani. Seperti yang diharapkan oleh Kode Etik
Wartawan Indonesia.
Kode
Etik ini dibuat atas prinsip bahwa pertanggungjawaban tentang pentaatannya berada terutama
pada hati nurani setiap wartawan Indonesia.
Hati nurani adalah kesadaran yang berfungsi secara otonom dalam diri pribadi,
tidak dikarenakan
adanya otoritas di luar diri yang bersangkutan. Untuk memiliki hati nurani, dengan sendirinya harus
dimulai dengan kesadaran etis, yaitu dengan memahami konteks setiap tindakan dengan
hal-hal diluar tindakan itu sendiri. Hal yang diluar tindakan itu dapat bersifat relijius
(Tuhan), duniawi (masyarakat).
BAB II
PEMBAHASAN
Sebelum kita bicara tentang etika jurnalistik, perlu kita ulas lebih
dulu etika profesi. Hal ini karena jurnalis atau wartawan, seperti juga dokter
dan ahli hukum, adalah sebuah profesi (profession). Apa yang
membedakan suatu profesi dengan jenis pekerjaan lain?
Profesi menurut Webster's New Dictionary and Thesaurus (1990) adalah suatu
pekerjaan yang membutuhkan pengetahuan khusus dan seringkali juga persiapan
akademis yang intensif dan lama. Seorang dokter ahli bedah, misalnya, sebelum
bisa berpraktek membutuhkan pengetahuan tentang anatomi tubuh manusia dan
pendidikan, sekaligus latihan, cukup lama dan intensif
Etika (ethics) adalah suatu sistem tindakan atau perilaku,
suatu prinsip-prinsip moral, atau suatu standar tentang yang benar dan salah.
Dalam praktek, etika bagi pengelola pers adalah perspektif moral yang diacu
dalam setiap mengambil keputusan peliputan dan pemuatan suatu fakta menjadi
berita. Etika memiliki dua wilayah, substantif dan operasional. Substantif
adalah wilayah moral yang dianut wartawa secara personal misalnya prioritasnya
atas kasus publik ketimbang privat, memuat fakta empiris ketimbang fakta psikologis,
mengambil fakta yang membantu situasi damai ketimbang pemicu konflik. Etika
operasional terkait dengan panduan teknis etis bagaimana meliput dengan
memepertimbangkan balance narasumber akurasi dan menolak sogokan.
Dari segi etimologi kita melihat
istilah kata jurnalistik terdiri dari dua suku kata, yakni jurnal dan istik.
Kata jurnal berasal dari bahasa
Perancis, journal, yang berarti catatan harian. Hampir sama bunyi
ucapannya dengan kata itu kita akan temukan dalam bahasa Latin, diurna yang mengandung arti hari ini. Adapun
kata istik merujuk pada istilah estetika yang berarti ilmu pengetahuan
tentang keindahan. Keindahan yang dimaksud adalah mewujudkan berbagai produk
seni dan ketrampilan dengan menggunakan bahan-bahan yang
diperlukannya.(Pringgodigdo,1973:383)
Etika jurnalistik adalah standar aturan perilaku dan moral, yang
mengikat para jurnalis dalam melaksanakan pekerjaannya. Etika jurnalistik ini
penting. Pentingnya bukan hanya untuk memelihara dan menjaga standar kualitas
pekerjaan si jurnalis bersangkutan, tetapi juga untuk melindungi atau
menghindarkan khalayak masyarakat dari kemungkinan dampak yang merugikan dari
tindakan atau perilaku keliru dari si jurnalis bersangkutan.
Dalam sejarah pers Indonesia, terdapat sejumlah kode etik yang biasanya
dirumuskan oleh organisasi profesi bersangkutan, dan Kode Etik itu bersifat
mengikat terhadap para anggota organisasi. Misalnya: Persatuan
Wartawan Indonesia (PWI),dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). AJI bersama
sejumlah organisasi jurnalis lain secara bersama-sama juga telah menyusun Kode
Etik Jurnalis Indonesia, yang diharapkan bisa diberlakukan untuk seluruh
jurnalis Indonesia.Selain organisasi profesi, institusi media tempat si
jurnalis itu bekerja juga bisa merumuskan Kode Etik dan aturan perilaku (Code
of Conduct) bagi para jurnalisnya.
Meskipun disusun
oleh organisasi profesi atau institusi media yang berbeda-beda, di Indonesia
atau pun di berbagai negara lain, isi Kode Etik pada umumnya bersifat universal
dan tak banyak berbeda. Tentu saja tidak akan ada Kode Etik yang membolehkan
jurnalis menulis berita bohong atau tak sesuai dengan fakta, misalnya. Variasi
kecil yang ada mungkin saja disebabkan perbedaan latar belakang budaya
negara-negara bersangkutan. Untuk gambaran yang lebih jelas, sebagai contoh di
sini disajikan Kode Etik AJI.
Kode Etik
Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
1.
Jurnalis menghormati hak
masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar.
2.
Jurnalis senantiasa mempertahankan
prinsip-prinsip kebebasan dan keberimbangan dalam peliputan dan pemberitaan
serta kritik dan komentar.
3.
Jurnalis memberi tempat bagi pihak
yang kurang memiliki daya dan kesempatan untuk menyuarakan pendapatnya.
4.
Jurnalis hanya melaporkan fakta
dan pendapat yang jelas sumbernya.
5.
Jurnalis tidak menyembunyikan
informasi penting yang perlu diketahui masyarakat.
6.
Jurnalis menggunakan cara-cara
yang etis untuk memperoleh berita, foto, dan dokumen.
7.
Jurnalis menghormati hak nara
sumber untuk memberi informasi latar belakang, off the record, dan
embargo.
8.
Jurnalis segera meralat setiap
pemberitaan yang diketahuinya tidak akurat.
9. Jurnalis menjaga kerahasiaan sumber informasi konfidensial, identitas
korban kejahatan seksual, dan pelaku tindak pidana di bawah umur.
10.Jurnalis menghindari kebencian, prasangka, sikap merendahkan,
diskriminasi, dalam masalah suku, ras, bangsa, jenis kelamin, orientasi
seksual, bahasa, agama, pandangan politik, cacat/sakit jasmani, cacat/sakit
mental, atau latar belakang sosial lainnya.
11.
Jurnalis menghormati privasi
seseorang, kecuali hal-hal itu bisa merugikan masyarakat.
12.
Jurnalis tidak menyajikan berita
dengan mengumbar kecabulan, kekejaman, kekerasan fisik dan seksual.
13.
Jurnalis tidak memanfaatkan posisi
dan informasi yang dimilikinya untuk mencari keuntungan pribadi.
14.
Jurnalis dilarang menerima
sogokan.
15.
Jurnalis tidak dibenarkan
menjiplak.
16.
Jurnalis menghindari fitnah dan
pencemaran nama baik.
17.
Jurnalis menghindari setiap campur
tangan pihak-pihak lain yang menghambat pelaksanaan prinsip-prinsip di atas.
18.
Kasus-kasus yang berhubungan dengan kode etik
akan diselesaikan oleh Majelis Kode Etik.
Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers
menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan
terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat. Untuk menjamin kemerdekaan pers dan
memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia
memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam
menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik
Jurnalistik:
Pasal 1
Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat,
berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Penafsiran
Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati
nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk
pemilik perusahaan pers.
Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi.
Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.
Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata
untuk menimbulkan kerugian pihak lain.
Pasal 2
Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas
jurnalistik.
Penafsiran
Cara-cara yang profesional adalah:
a. menunjukkan identitas diri kepada narasumber;
b. menghormati hak privasi;
c. tidak menyuap; menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya;
rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi
dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang;
menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto,
suara;
tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain
sebagai karya sendiri; penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan
untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.
Pasal 3
Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang,
tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas
praduga tak bersalah.
Penafsiran
Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran
informasi itu.
Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing
pihak secara proporsional.
Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan
opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas
fakta.
Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.
Pasal 4
Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
Penafsiran
Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai
hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.
Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat
buruk.
Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan.
Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar,
suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.
Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu
pengambilan gambar dan suara.
Pasal 5
Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan
susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
Penafsiran
Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang
memudahkan orang lain untuk melacak.
Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah.
Pasal 6
Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.
Penafsiran
Menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan
pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut
menjadi pengetahuan umum.
Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak
lain yang mempengaruhi independensi.
Pasal 7
Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak
bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan
embargo, informasi latar belakang, dan "off the record" sesuai dengan
kesepakatan.
Penafsiran
Hak tolak adalak hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan
narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya.
Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan
permintaan narasumber.
Informasi latar belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber yang
disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya.
"Off the record" adalah segala informasi atau data dari narasumber
yang tidak boleh disiarkan atau diberitakan.
Pasal 8
Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka
atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna
kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang
lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
Penafsiran
Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui
secara jelas.
Diskriminasi adalah pembedaan perlakuan.
Pasal 9
Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali
untuk kepentingan publik.
Penafsiran
Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati.
Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain
yang terkait dengan kepentingan publik.
Pasal 10
Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru
dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan
atau pemirsa.
Penafsiran
Segera berarti tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik karena ada maupun
tidak ada teguran dari pihak luar.
Permintaan maaf disampaikan apabila kesalahan terkait dengan substansi pokok.
Pasal 11
Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.
Penafsiran
Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan
atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang
diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
Proporsional berarti setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki.
Penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan Pers.
Sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh organisasi
wartawan dan atau perusahaan pers.
Jakarta, Selasa, 14 Maret 2006
Kami atas nama organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers Indonesia:
- Aliansi Jurnalis Independen (AJI)-Abdul Manan
- Aliansi Wartawan Independen (AWI)-Alex Sutejo
- Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI)-Uni Z Lubis
- Asosiasi Wartawan Demokrasi Indonesia (AWDI)-OK. Syahyan Budiwahyu
- Asosiasi Wartawan Kota (AWK)-Dasmir Ali Malayoe
- Federasi Serikat Pewarta-Masfendi
- Gabungan Wartawan Indonesia (GWI)-Fowa'a Hia
- Himpunan Penulis dan Wartawan Indonesia (HIPWI)-RE Hermawan S
- Himpunan Insan Pers Seluruh Indonesia (HIPSI)-Syahril
- Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI)-Bekti Nugroho
- Ikatan Jurnalis Penegak Harkat dan Martabat Bangsa (IJAB HAMBA)-Boyke M.
Nainggolan
- Ikatan Pers dan Penulis Indonesia (IPPI)-Kasmarios SmHk
- Kesatuan Wartawan Demokrasi Indonesia (KEWADI)-M. Suprapto
- Komite Wartawan Reformasi Indonesia (KWRI)-Sakata Barus
- Komite Wartawan Indonesia (KWI)-Herman Sanggam
- Komite Nasional Wartawan Indonesia (KOMNAS-WI)-A.M. Syarifuddin
- Komite Wartawan Pelacak Profesional Indonesia (KOWAPPI)-Hans Max Kawengian
- Korp Wartawan Republik Indonesia (KOWRI)-Hasnul Amar
- Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI)-Ismed hasan Potro
- Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)-Wina Armada Sukardi
- Persatuan Wartawan Pelacak Indonesia (PEWARPI)-Andi A. Mallarangan
- Persatuan Wartawan Reaksi Cepat Pelacak Kasus (PWRCPK)-Jaja Suparja Ramli
- Persatuan Wartawan Independen Reformasi Indonesia (PWIRI)-Ramses Ramona S.
- Perkumpulan Jurnalis Nasrani Indonesia (PJNI)-Ev. Robinson Togap Siagian-
- Persatuan Wartawan Nasional Indonesia (PWNI)-Rusli
- Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) Pusat- Mahtum Mastoem
- Serikat Pers Reformasi Nasional (SEPERNAS)-Laode Hazirun
- Serikat Wartawan Indonesia (SWI)-Daniel Chandra
- Serikat Wartawan Independen Indonesia (SWII)-Gunarso Kusumodiningrat
Seorang jurnalis muslim tentu saja memiliki
kode etik tersendiri sesuai tuntunan ajaran islam, selain menaati kode etik
PWI. Kode etik yang dimaksud antara lain sebagai berikut:
·
Menginformasikan
atau menyampaikan yang benar saja alias tidak beerbohong , juga tidak
merekayasa atau memanipulasi fakta.(Q.S Al-Hajj:30)
·
Bijaksana,
penuh nasihat yang baik serta argumentasi yang jelas dan baik pula. Karakter,
pola pikir, kadar pemahaman obyek pembaca harus dipahami, sehingga tulisan
berita yang dibuat pun akan disesuaikan sehingga mudah dibaca dan dicerna. (Q.S
An-Nahl:125)
·
Meneliti
kebenaran berita / fakta sebelum di publikasikan alias melakukan check and
recheck(Q.S Al-Hujurat:6)
·
Hindari
olok-olok, penghinaan, mengejek atau caci maki sehingga menumbuhkan permusuhan
dan kebencian (Q.S Al-Hujurat:11)
·
Hindarkan
prasangka buruk (suuzhan). Dalam istilah hukum, pegang teguh “asas praduga tak
bersalah”(Q.S Thaha:25-26)
Webster's New Dictionary and Thesaurus. Concise Edition.
1990. New York: Russel, Geddes & Grosset.