Hand out Dasar
Jurnalistik
Pertemuan 2
Edisi : Konsep Dasar
Jurnalistik
Hasil karya jurnalistik yang baik tidak akan lahir begitu saja,
proses panjang akan selalu menyertainya, hingga "pena" sang kuli tinta begitu mantap ditorehkan pada
lembaran kertas putih. Banyak karya jurnalistik yang membooming, karena
kecerdasan dan improvisasi pemburu disket ini termasuk karya yang bersumber
pada “shock news” atau berita kejutan seperti tabrakan kereta api, pesawat
jatuh, kebakaran dan lain-lain yang tak pernah terencanakan, namun ada juga
karya yang dihasilkan dari perencanaan matang, setelah kuli tinta mencermati
sebuah realitas berita.
Setiap karya jurnalistik yang beredar di khalayak, selalu
didasari oleh tujuan tertentu, yang hal itu telah terumuskan dalam perencanaan
kerja jurnalistik. Di antara tujuan karya tersebut adalah sebagai pembentuk
opini atau pendapat masyarakat, media massa
mempengaruhi pikiran mayarakat secara cepat dan merata. Berita atau
tulisan-tulisan di surat
kabar atau majalah bahkan dianggap oleh masyarakat memiliki kebenaran absolut
dan final. Berita atau tulisan di surat
kabar sering dijadikan acuan masyarakat untuk menentukan pilihan.
Banyak contoh yang mengungkapkan betapa tulisan di surat kabar
atau di media elektronik dianggap sudah pasti benar, seperti berita
tentang hasil penelitian seorang ilmuwan
yang mengungkap fenomena yang berkembang di masyarakat, misalnya kasus
mahasiswa di yogyakarta yang sekian persen pernah melakukan hubungan seksual dan
lain-lain, cukup mempengaruhi masyarakat begitu rupa sehingga terbentuk opini.
Dengan kata lain karya jurnalistik yang dihasilkan oleh wartawan hingga saat
ini memiliki kekuatan dalam mempengaruhi pikiran bahkan keputusan yang hendak
diambil oleh masyarakat baik secara personal maupun kelembagaan.
Untuk dapat menghasilkan karya jurnalistik yang cukup apik dan
memiliki daya pengaruh yang begitu kuat, perlu persyaratan yang harus diketahui
dan dipenuhi oleh mereka yang memproduksi karya jurnalistik. Dan di dalam karya
tulisan ini akan dijelaskan secara gamblang tentang jurnalistik, baik sebagai
ilmu, karya maupun aktivitas.
A.
Pengertian dan Fungsi Jurnalistik
Menilik
dari asal kata, Jurnalistik berasal dari kata
diurnal (latin) artinya harian atau setiap hari atau
dari kata du jour (Perancis), yang berarti hari (Effendi, 1993 :95), sedangkan kata journal
berarti catatan harian, yang
biasanya berisi hal-hal yang penting dan
menarik (Wahyudi, 1996 :1)
Dengan
mengacu asal makna kata tersebut, banyak pakar dan praktisi jurnalistik
kemudian mengajukan beberapa pengertian jurnalistik.
1. Adinegoro dalam bukunya Publisistik dan
Jurnalistik menyatakan bahwa jurnalistik adalah keterampilan seseorang
untuk mencari, mengumpulkan, mengolah berita, dan menyajikan secepatnya pada
khalayak (Adinegoro, 1961).
2. Onong Uchyana Effendy menyatakan bahwa
jurnalistik merupakan teknik mengelola berita mulai dari mendapatkan bahan
sampai kepada menyebarkanluaskannya kepada khalayak (Effendy : 1993 :95)
3. M. Djen Amar menyatakan bahwa jurnalistik
merupakan usaha memproduksi kata-kata dan gambar-gambar yang dihubungkan dengan
proses transfer ide/gagasan dengan bentuk suara.
4. Dalam Ilmu publisistik dijelaskan bahwa
jurnalistik merupakan salah satu bentuk publisistik / komunikasi yang
menyiarkan berita atau ulasan berita tentang peristiwa-peristiwa sehari-hari
yang umum dan actual dengan secepat-cepatnya.
5. Suf Kasman menyatakan bahwa jurnalistik
adalah suatu kepandaian untuk menuliskan hal-hal yang baru terjadi dengan cara
menaruh perhatian dengan maksud agar diketahui orang sebanyak-banyaknya dan
secepat-cepatnya.
6. JB. Wahyudi melihat pengertian Jurnalistik
dari 3 (tiga) sisi, yakni ; sisi ilmu, proses dan karya. (Wahyudi, 1996 :1)
Pertama, Dari sisi ilmu Jurnalistik
dipandang sebagai salah satu ilmu terapan (applied sciences) dari ilmu
komunikasi, yang mempelajari keterampilan seseorang dalam mencari,
mengumpulkan, menyeleksi dan mengolah informasi yang mengandung nilai berita
menjadi karya jur:nalistik, sertamenyajika kepada khalayak, melalui media massa
periodic, baik cetak maupun eletronik.
Kedua, Dari Proses Jurnalistik adalah setiap kegiatan
mencari, mengumpulkan, menyeleksi, dan mengolah informasi yang mengandung nilai
berita, serta menyajikan kepada khalayak melalui media massa baik cetak maupun elektronik.
Ketiga, Dari sisi Karya Jurnalistik adalah uraian fakta dan
atau pendapat yang mengandung nilai berita, dan penjelasan masalah hangat yang
sudah disajikan kepada khalayak melalui media masssa periodic baik cetak maupun
elektronik.
Berangkat
dari pengertian tersebut, maka dapat dikatakan bahwa jurnalistik merupakan
sebuah proses kerja informasi yang menghasilkan karya informasi, di mana proses
tersebut secara rinci merupakan proses pencarian, pengumpulan, penyeleksian dan
pengolahan informasi yang mengandung nilai berita menjadi karya jurnalistik,
dan penyajiannya kepada khalayak melalui media massa periodic cetak maupun
elektronik memerlukan keahlian, kejelian dan keterampilan tersendiri, yaitu keterampilan
jurnalistik. Penerapan keterampilan jurnalistik harus dilandasi oleh prinsip
yang mengutamakan kecepatan, ketepatan,
kebenaran, kejujuran, keadilan, keseimbangan dan tidak berprasangka.
Karena
itu pula Luwi Ishwara (2005) menyatakan bahwa Jurnalistik atau jurnalisme,
selalu memiliki ciri-ciri yang khas, antara lain
a. Skeptis, yaitu adalah sikap untuk selalu mempertanyakan
segala sesuatu, meragukan apa yang diterima, dan mewaspadai segala kepastian
agar tidak mudah tertipu. Inti dari skeptis adalah keraguan. Media janganlah
puas dengan permukaan sebuah peristiwa serta enggan untuk mengingatkan
kekurangan yang ada di dalam masyarakat. Wartawan haruslah terjun ke lapangan,
berjuang, serta menggali hal-hal yang eksklusif.
b. Bertindak (action) ,yaitu wartawan tidak menunggu sampai peristiwa itu
muncul, tetapi ia akan mencari dan mengamati dengan ketajaman naluri seorang
wartawan.
c.
Berubah, yaitu perubahan merupakan hukum utama jurnalisme.
Media bukan lagi sebagai penyalur informasi, tapi fasilitator, penyaring dan
pemberi makna dari sebuah informasi.
d. Seni dan Profesi,
yaitu wartawan melihat dengan mata yang segar pada
setiap peristiwa untuk menangkap aspek-aspek yang unik.
e.
Peran Pers, yaitu pers sebagai pelapor,
bertindak sebagai mata dan telinga publik, melaporkan peristiwa-peristiwa di
luar pengetahuan masyarakat dengan netral dan tanpa prasangka. Selain itu, pers
juga harus berperan sebagai interpreter, wakil publik, peran jaga, dan pembuat
kebijaksanaan serta advokasi.
Satu hal
yang perlu diperhatikan oleh pelaksana jurnalistik adalah media massa yang merupakan
sarana untuk penuangan karya. Artinya perlu bagi pelaksana jurnalistik memahami
karakter masing-masing media massa
yang hendak digunakan. Dalam kaitan itu pula kemudian Baswichwith (1946) sebagaimana diungkapkan
Onong Uhyana Effendy (1993) dan JB Wahyudi (1996) memberikan sebuah pandangan
tentang media massa yang hendak digunakan haruslah memenuhi beberapa criteria,
yaitu :
a.
Publisitas
Yang dimaksud dengan publisitas (publicity) ialah
penyebaran kepada publik atau khalayak. Karena diperuntukkan khalayak, maka
sifat dari karya jurnalistik adalah umum. Isi karya jurnalistik terdiri dari
berbagai hal yang erat kaitannya dengan kepentingan umum.
b.
Universalitas
Yang dimaksud dengan universalitas (universality) ialah
kesemestaan isinya, aneka ragam dan dari seluruh dunia.
c.
Periodesitas
Merupakan keteraturan terbit dan tersiarnya sebuah karya jurnalistik dalam bentuk harian,
mingguan atau lainnya, sepanjang ada
konsistensi dalam “kemunculannya” di masyarakat
d.
Kontinyuitas
Artinya karya yang dihasilkan dan kemudian disajikan lewat
media massa
tersebut haruslah bekesinambungan, sampai fakta dan pendapat yang mengandung
nilai berita itu tidak lagi dinilai penting atau menarik oleh sebagaian besar
khalayak.
e.
Aktualitas
Aktualitas (actuality) berarti isi pesan yang disampaikan harus
memenuhi nilai “kebaruan” dan keadaan sebenarnya.
Kembali
kepada kekuatan daya pengaruh yang dimiliki oleh karya jurnalistik dalam
mempengaruhi khalayak, Onong Uchyana Effendi menyatakan bahwa daya
kekuatan itu memiliki relevansi dengan
keberadaan pers yang sedari awal memiliki beberapa fungsi, antara lain :
a. Fungsi menyiarkan informasi (to inform)
pers memberikan “segepok” informasi mengenai suatu peristiwa
yang sedang terjadi, dan informasi tersebut teramat dibutuhkan oleh khalayak.
Dengan demikian melalui karya jurnalistik, pers menyampaikan serangkaian
gagasan, pikiran, pendapat atau fakta
kepada khalayak sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya
masing-masing.
b. Fungsi
mendidik ( to educate)
Fungsi ini dapat diartikan bahwa pers hakekatnya merupakan
sarana pendidikan massa,
di mana karya jurnalistik yang memuat tulisan ataupun produk citra bergerak
lainnya yang mengandung pengetahuan, sehingga khalayak penikmat bertambah
pengetahuannya. Fungsi mendidik ini secara implicit dapat berupa berita, secara
eksplisit berbentuk artikel, ataupun tajuk rencana, ataupun bentuk lainnya.
c. Fungsi
Menghibur (to entertaint)
Hal-hal yang bersifat hiburan seringkali ditampilkan dalam
setiap karya jurnalistik, apakah yang bersifat cetak ataupun elektronik. Tujuan
penampilan itu untuk mengimbangi berita yang sifatnya berat dan artikel-artikel
yang berbobot. Adapun bentuk dapat berupa cerita, film, cerita bergambar atau
yang lainnya.
d. Fungsi
Mempengaruhi. (to Persuate)
Fungsi ini menyebabkan karya jurnalistik memegang peranan
penting dalam kehidupan masyarakat. Dengan kata lain melalui pandangan,
pikiran, gagasan yang tertuang dalam setiap karya jurnalistik yang dibaca,
dilihat dan dinikmati mampu mempengaruhi jalan pemikiran pandangan dan pendapat
masyarakat.
Hand Out Dasar Jurnalistik
Pertemuan
3
Edisi
: Historisitas Jurnalistik (global)
Pada mulanya
jurnalistik hanya mengelola hal-hal yang sifatnya informasi saja. Ini
terbukti pada acta diurnal yang
merupakan produk jurnalistik pertama pada zaman Romawi kuno ketika Kaisar Julius Caesar berkuasa. Dikeluarkannya Acta
Diurna merupakan “instruksi” dari kaisar agar setiap kegiatan-kegiatan yang
telah dilakukan oleh senat setiap harinya diumumkan kepada khalayak dengan
ditempel pada semacam papan pengumuman
Berbeda dengan media massa sekarang ini yang selalu hadir di
setiap rumah, acta diurnal justru selalu
didatangi oleh masyarakat yang ingin mendapatkan informasi tentang kegiatan
yang telah dilakukan oleh anggota senat. Dengan ditempelkannya acta diurnal
menjadikan masyarakat yang ingin mengetahui berita itu semakin banyak, kondisi
yang demikian itulah menyebabkan sebagian masyarakat pada waktu itu terutama
sekelompok tuan tanah dan hartawan merasa “kegerahan”, akhirnya mereka kemudian
mengutus para budaknya untuk mencatat setiap informasi yang tertuang dalam acta
diurna tersebut. Dengan demikian melalui para pencatata (diurnarii) yang
diutus tersebut, berita atau informasi yang tertuang dalam acta diurnal
tersebut hadir di rumah kaum tuan tanah dan hartawan.
Dalam perkembangan selanjutnya, para
Diurnarii tersebut tidak lagi
terdiri dari para budak, melainkan juga orang-orang bukan budak yang menjual
catatan harian mengenai kegiatan senat itu kepada siapapun yang membutuhkan,
Isinyapun tidak hanya bersifat resmi yang hanya memberitakan aktivitas senat,
melainkan juga berita yang tidak resmi yang menyangkut kepentingan umum dan
menarik perhatian khalayak. Dengan kondisi itu, terjadilah persaingan diantara
para diurnarii, sehingga mereka sengaja
menyusuri kota Roma sampai ke luat kota untuk memburu berita. Kondisi demikian terus
berlangsung hingga masa kegelapan, yakni runtuhnya kekaisaran romawi yang
menyebab eropa mengalami kemuduran (dark ages).
Hilangnya tradisi jurnalistik secara
tertulis tersebut, menyebabkan tradisi lisan muncul. Artinya berita yang
disampaikan kepada khalayak setelah kemuduran eropa itu lebih banyak
disampaikan lewat lisan ; diceritakan dan dinyanyikan oleh sekolompok orang
yang dikenal dengan wandering
minstrels yang berkelana dari trempat nyang satu ke tempat lain. Tradisi
ini banyak berkembang di negara Swiss, Inggris, dan Perancis. Baru tahun 1609, di Jerman muncul Avisa
Relation Oder Zeitung sebagai surat kabar pertama, kemudian disusul Inggris
pada tanggal 23 mei 1622 dengan nama Weekly News. Sementara itu banyak
pakar yang menyatakan bahwa yang dianggap sebagai surat kabar pertama dan
terbit secara tercetak dan teratur adalah
Oxford Gazette pada tahun 1665, yang dikomandani oleh Henry Muddiman,
dialah editor pertama yang memperkenalkan istilah news paper.
Dengan kemunculan media massa tersebut, tenyata membuat pihak gereja
dan penguasa perlu mengeluarkan serangkaian undang-undang, yang sifatnya
pembatasan terhadap pemberitaan tentang hal yang merusak norma, subversif,
menghina Tuhan dan lain-lain yang dapat menurunkan derajat manusia. Pembatasan
yang dilakukan oleh pihak gereja dan negara mengundang tantangan dan protes.
Misalnya di Inggris tahun 1644 John Milton melalui bukunya Areopagitica ; A
Deference Unlicenced Printing, ia hendak memperjuankan kebebasan pers. Bagi
Milton, kebebasan pers adaah kebebasan menyatakan pendapat, bebas untuk
mengetahui, mengubah, dan memperdebatkan hati nurani di atas segala
kemerdekaan.Langkah Milton tersebut dalam perkembangan selanjutnya banyak
diikuti oleh para praktisi dan pemikir jurnalistik berikutnya, sebut saja John
Erskine dengan mengeluarkan buku The
Right of Man ia mencoba berbuat hal yang sama deperti yang dilakukan oleh
Milton.
Dengan kasus seperti itu, Onong Uchyana
Effendy mencatat bahwa ada dua perjuangan utama pada abad 18 yang dilakukan
oleh pres yang dipengaruhi prinsip liberal, yaitu :
-
perjuangan
yang berkaitan dengan fitnah yang bersifat
menghasut
-
perjuangan
yang bersangkutan dengan hak pers untuk menyiarkan kebijakan yang dilakukan
pemerintah.
Pemerintah Inggris ketika itu giat
mengadakan pengwasan terhadap kritik yang dilakukan secara terbuka kepadanya
dengan jalan penuntutan-penuntutan terhadap
fitnah menghasut. Para hakim yang
diangkat oleh kerajaan menaruh simpati kepada upaya yang dilakukan pemerintah
dalam mengendalikan pers sehingga tidak menganggu khalayak. Tetapi pada
akhirnya prinsip libera l ini mencapai kemenangan dengan dapat terbitnya
kebenaran yang di Inggris dibela oleh Parliamentary Act. Dengan demikian
pers lebih leluasa dalam menyiarkan beritanya
Hand Out Dasar Jurnalistik
Pertemuan
4
Edisi
: Jurnalistik Media Cetak dan Radio
A.
Jurnalistik Media Cetak
Jurnalistik media cetak,
boleh dikatakan model jurnalistik yang paling tua, atau yang kali pertama
muncul. Meski model awalnya belum berbentuk media surat kabar atau majalah seperti sekarang
ini, namun keberadaan "media tercetak" Acta Diurna yang digagas
Julius Caesar boleh dikatakan sebagai tonggak awal lahirnya jurnalistik media
cetak, yang kemudian disusul dengan "media tercetak" lainnya, seperti
Avisa Realtion Oder Zeitung, Weekly News pada abad ke-16.
Hadirnya jurnalistik cetak
di hadapan khalayak luas secara sederhana diarahkan untuk membuka "mata
pembaca" dalam mengenali dan memhami berbagi perubahan yang terjadi di
permukaan bumi ini. Karena itulah fungsi dari jurnalistik cetak dapat dirinci
sebagai berikut :
1.
To inform yaitu
menginformasikan kepada pembaca secara objektif tentang apa yang terjadi dalam
suatu komunitas, Negara dan dunia.
2.
To comment yaitu
mengomentari berita yang disampaikan dan mengembangkannya ke dalam focus berita
3.
To provide, yaitu
menyediakan keperluan informasi bagi pembaca yang membutuhkan barang dan jasa
melalui pemasangan iklan di media cetak.
4.
Untuk mengkampanyekan proyek-proyek yang
bersifat kemasyarakatan yang diperlukan sekali untuk membantu kondisi-kondisi
tertentu
5.
Memberikan hiburan kepada pembaca dengan
sajian cerita bergambar atau cerita-cerita khusus
6.
Melayani pembaca sebagai konselor yang
ramah, menjadi agen informasi dan memperjuangkan hak.
Berpijak dari detail fungsi
jurnalistik cetak tersebut, maka secara konseptual jurnalistik cetak tidak
hanya dimaknai sebagai ilmu, proses dan karya jurnalistik yang disiarkan kepada
khalayak melalui media tercetak saja, tapi harus dimaknai sebagai sarana
alternative yang mampu membangkitkan motivasi dan kemandirian masyarakat dalam
memahami arti penting sebuah informasi bagi pengembangan kehidupan secara
hakiki. Dengan demikian, praktisi jurnalis cetak akan selalu berpikir seribu
kali jika ingin mengarahkan produknya ke nilai-nilai vulture journalisme
(jurnalistik yang mengikuti selera rendah khalayak), dan tetap konsisten pada
pembentukan nilai-nilai yang mengarah pada future journalism
(jurnalistik yang mengarahkan khalayak pada kesadaran akan masa depan)
Untuk menuju pada
"jalan benar" yang diinginkan, maka pemahaman terhadap karakter dasar
media menjadi penting untuk diperhatikan. Dalam hal ini gambaran yang diberikan
JB Wahyudi (1996) begitu gamblang dengan merinci sebagai berikut :
- Informasi yang
akan disajikan dan dapat dinikmati khalayak selalu melalui proses
tercetak.
- Isi pesan
tercetak, karena itu dapat dibaca di mana dan kapan saja (terdokumentasi)
- Isi pesan dapat
dibaca berulang-ulang. Karena itu, ketika khalayak menginginkan isi pesan
tersebut, maka khalayak dapat membacanya kembali, dengan catatan isi pesan
tersebut masih terdokumentasi dengan baik.
- Hanya
menyajikan peristiwa atau pendapat yang telah terjadi. Kondisi ini lebih
disebabkan sifat fisik media cetak yang membutuhkan proses panjang dalam
menampilkan isi pesan, akibatnya isi pesan yang ada merupakan isi pesan
yang tertunda.
- Tidak dapat
menyajikan tpendapat narasumber secara langsung (audio). Dalam konteks
ini, posisi wartawan hanya mampu mengutip pendapat narasumber yang untuk
kemudian disalin kembali dalam bentuk tulisan.
- Penulisan
dibatasi oleh kolom dan halaman
- Makna berkala
dibatasi oleh hari, minggu, dan bulan
- Distribusi
melalui transportasi darat/laut/ udara
- Bahasa yang
digunakan bahasa formal, dengan mempertimbangkan efisiensi dan
efektifitas, serta menjauhi makna ganda, namun tetap sederhana atau dalam
bahasa yang lain dikatakan bahasa yang digunakan media cetak adalah bahasa
tulis yang siapun orangnya dari kelas tukang becak hingga professor
menjadi mengerti isi pesan yang ada dalam media tersebut.
- Kalimat dapat
panjang dan terperinci, dengan rumus easy reading formula (ERS)
yang terapliksi dalam pola 5 W + 1 H.
Kesepuluh karakter dasar
yang disampaikan JB Wahyudi, secara "kasat mata" tidak akan mungkin
dapat memberikan efek langsung terhadap "keberdayaan" khalayak dalam
memenuhi kebutuhan informasi. Mengapa demikian? Karena karakter dasar yang
disampaikan lebih memberikan pedoman praktisi media cetak dalam menghasilkan
karya jurnalistik cetak, yang kreatif, inovatif, menghibur dan cerdas, tidak
hanya dari sisi fisiknya yang menarik tapi juga dari kualitas informasinya.
Menghasilkan karya
jurnalistik cetak yang "luar biasa" tersebut, tentunya tidak bisa
hanya mengandalkan kelincahan tangan si kuli tinta dalam menghasilkan rangkaian
kalimat, tapi juga crew lainnya yang berada di belakang redaksi, yaitu redaktur,
lay outer, platter, print outer dan lainnya. Artinya karya produk jurnalistik
akan hadir di tengah khalayak apabila adalah harmonisasi secara sistemik dari
praktisi media cetak secara utuh dan tidak personal parialitas.
Sementara itu produk
jurnalistik cetak yang dihasilkan bentuknya cukup beragam. Secara singkat dapat
dikatakan adalah semua barang cetakan yang tujuannya memberikan informasi
kepada khalayak luas. Namun demikian yang perlu diperhatikan adalah dalam
setiap bentuk produk jurnalistik cetak tersebut adalah sub bentuk yang
"mewarna" isi produk tersebut. Misanya surat kabar, didalamnya terdapat beragam
bentuk tulisan seperti, berita (straight news), features, kolom,
artikel, iklan bahkan juga laporan investigasi dan lainnya.
B.
Jurnalistik Media Radio
Keberadaan jurnalistik
radio, pada dasarnya merupakan kelanjutan dari jurnalistik media cetak. Hal ini
seiring dengan ditemukannya perangkat teknologi radio yang ternyata memiliki
kemampuan untuk meningkatkan transfer informasi kepada khalayak luas lebih cepat.
Radio yang kali pertama ditemukan seorang ahli fisika berkebangsaan Skotlandia
tahun 1864, yaitu James C Maxwell, dalam perkembangannya semakin dilirik
kalangan jurnalis untuk menjadi media alternative penyiaran informasi. Semenjak
itulah, radio dipandang sebagai media alternatve dalam menyampaikan informasi
kepada khalayak selain media cetak.
Dalam
perkembangan selanjutnya media radio mulai "dilirik" kalangan
jurnalis, dengan alasan (a) sifat
ketersegeraan (actuality), (b) format kemasan (bodystyle), dan
(c) lokalitasnya. Lebih dari itu, diliriknya media radio juga disebabkan
munculnya kesadaran di kalangan pengelola (owner) dan praktisi (broadcaster)
yang berpikir bahwa radio merupakan media informasi strategis, dan adanya
perubahan social di masyarakat yang menjadi pendorong utama
"bergeraknya" radio dalam menyajikan informasi alternative
Dengan dipilihnya radio
sebagai media alternative dalam berjurnalistik, menurut Masduki (2004)
menjadikan radio sebagai bagian industri informasi baru yang akan selalu
memiliki tiga kepentingan dalam mengembangkan program siarannya, yaitu :
1.
Ada radio
yang lebih mementingkan tercapainya tujuan ekonomis sehingga segala informasi
yang disiarkan harus berdaya jual tinggi, tidak peduli apakah dampaknya
negative atau positive
2.
Ada radio
yang ingin agar informasi yang disampaikan bermanfaat bagi harkat kehidupan
pendengar, membantu pendengar menyesuaikan diri dengan perubahan dan memperluas
perspektif pemikiran.
3.
Ada pula
yang menganggap informasi sebagai alat untuk mencapai tujuan ideologis.
Informasi yang disampaikan diupayakan dapat membujuk pendengar untuk bersikap
sesuai tujuan ideologisnya, keuntungan ekonomis tinggi bukan tujuan prioritas.
Dalam tataran praksis,
ketiga kepentingan itu akan "menggoda" praktisi radio untuk
menentukan pilihan, apakah menjadikan radio sebagai "alat pemuas"
kapitalis yang selalu mengedepankan keuntungan bisnis secara finansial. Menjadi
"mesin" ideology kalangan tertentu atau menjadikan radio untuk
masyarakat (radio for society) yang menyajikan informasi yang
mencerdaskan dan memberdayakan masyarakat secara hakiki. Semuanya bergantung
pada "niatan awal" pelaku media radio. Namun, kalau boleh melihat
secara idealis positif, maka penggunaan radio sebagai media berjurnalistik
harus dikembalikan pada fungsi sosialnya, yaitu :
- Radio sebagai
media public yang mewadahi sebanyak mungkin kebutuhan dan kepentingan
pendengarnya (to inform, to educate and to entertaint)
- 'Radio sebagai
media penyampaian informasi dari satu pihak ke pihak lain
- Radio sebagai
sarana mobilisasi pendapat public dalam mempengaruhi kebijakan
- Radio sebagai
sarana untuk mengikat kebersamaan dalam semangat kemanusiaan dan
kejujuran.
Untuk dapat memaksimalkan
media radio dalam berjurnalistik secara proporsional dan professional serta
memberdayakan khalayak, maka pemahaman terhadap aspek fisikal media radio
menjadi perlu diperhatikan. Pemerhatian ini lebih didasari oleh argumentasi
bahwa (a) dengan memahami karakter dasar
media radio, jurnalis radio akan mengetahui di mana letak kelebihan dan
kekurangan media ini sebagai dasar untuk memproduk karya, (b) dapat menentukan
pendekatan terhada khalayak pendengar sehingga informasi yang disampaikan tepat
pada sasaran.
Ada beberapa aspek fisikal yang perlu
dipahami praktisi radio dalam memaksimalisasi media radio dalam berjurnalistik,
yaitu :
1.
Media radio adalah media yang bersifat
elektronik dan selalu membutuhkan daya listrik untuk mengoperasionalkannya
serta berbasis information and communications technology
2.
Media radio adalah media yang bersifat
audio (media dengar) dan non visual (media non lihat)
3.
Media radio adalah media transitory
4.
Media radio adalah media non rinci
Berpijak dari aspek fisikal
itu, Errol Jonathan (1994) memberikan gambaran rinci tentang karakter dasar
media radio, yang gambaran itu dapat menunjukkan kelebihan dan kekurangan media
radio ketika dijadikan wadah berjurnalistik, yaitu :
- Menjaga
Mobilitas, yaitu radio tetap menjaga mobilitas pendengar tetap tinggi. Radio
dapat didengar tanpa harus menghentikan aktivitas.
- Sumber Informasi
Tercepat, yaitu tingkat kesegeraannya
dalam menyampaikan informasi kepada khalayak, termasuk murah dalam
pengoperasiannya
- Auditif. Meski radio hanya suara, bukan visual
seperti media catak dan visual, namun dalam beberapa hal memiliki
keunggulan, antara lain (a) proses operasionalnya relative lebih mudah,
(b) biaya operasional juga lebih murah, (c) komunikasi dengan suara punya
kelebihan dalam pendekatan dengan khalayak pendengar.
- Menciptakan
"theatre of Mind", yaitu kemampuan medium ini menciptakan imajinasi
yang sering menggoda rasa penasaran khalayak pendengar dan imajinasi
pendengar untuk mengidentifikasi suasana dan situasi berdasarkan suara.
- Komunikasi
Personal, yaitu sifat dari radio yang
mengandalkan sisi komunikasi personalnya sangat menguntungkan untuk
menciptakan keakraban antara media dengan khalayak. Sehingga ikatan
kebutuhan dan ketergantungan satu dengan yang lain menjadi kuat.
- Murah, Tidak dapat
disangkal, dibandingkan dengan media cetak dan televise, radio merupakan
mediuam komunikasi yang murah dalam beberapa hal (a) biaya penyelenggaraan
siaran, (b) radio penerima juga realtif murah, terutama sesudah era
transistor, sehingga dimungkinkan diproduksi radio berukuran saku dan
dapat dibawa ke mana-mana, (c) murah, karena khalayak pendengar pada
umumnya tidak perlu membayar untuk mendengarkan radio. Ini berbeda dengan
media cetak di mana khalayak harus membelinya ketika ingin menikmati.
- Bersifat
"Mass Distribution", yaitu
radio memiliki kekuatan sebagai distributor informasi, edukasi dan hiburan
yang simultan. Radio dapat dinikmati sejumlah pendengar sekaligus.
- Format dan
Segmentasi Tajam. Dalam perkembangan keradioan modern,
kecenderungan sebuah radio harus menajamkan "format" dan
"segmentasi pendengar". Hal ini berguna untuk pembentuan citra
diri radio, sehingga identitasnya mudah ditengarahi khalayak pendengar,
dan memberi pilihan beragam pendengar.
- Daya Jangkau
Luas. Radio memiliki keunggulan
untuk meraih areal sasaran yang luas. Teknologinya dimungkinkan untuk
mengatasi hambatan geografis, cuaca dan system distribusinya.
10.Menyentuh Kepentingan Lokal dan Regiaonal. Meski siaran radio memungkinkan mencapai
radius yang luas, tapi umumnya siaran radio bersifat local dan regional
saja.Keuntungannya, radio dapat mengidentifikasi kebutuhan khalayak pendengar
secra jelas dan pasti. Paling tidak kebutuhan mengetahui situasi dan kondisi
local dan regionalnya.
11.Hanya Suara. Meski suara menjadi salah
satu keunggulan dari medium ini, namun dalam beberapa medium yang hanya
mengeluarkan suara merupakan kelemahan, terutama ketika menyajikan gambar dan
data yang fungsinya memperkuat penyajian.
12.Selintas. Ciri ini merupakan bentuk kelemahan lain
dari medium radio, sifatnya yang selintas menjadikan pendengar sulit untuk
melakukan pengulangan atau mengulangi informasi yang baru saja didengarnya.
13.Anti Detil. Karena sifatnya yang terbatas pada sisi
auditif dan selintas menjadikan penyajian yang dilakukan medium radio tidak
begitu rinci. Kondisi ini menjadi sebuah konsekuensi. Bisa dibayangkan jika
sajian radio begitu detil, maka pendengar menjadi tidak tertarik, karena bosan.
Lebih dari itu, JB Wahyudi (1996)
menambahkan secara lebih praksis dengan menyatakan bahwa ada beberapa poin
karakter dasar yang melekat pada media radio itu, antara lain :
- Bahwa dalam
melakukan aktivitasnya media radio selalu melalui proses pemancaran yang
membutuhkan perangkat keras berupa transmisi.
- Isi pesan radio
lebih bersifat audio yang dapat didengar secara sekilas sewaktu ada
siaran.
- Siaran yang
sekilas menjadikan pesan tidak dapat diulang.
- Dapat
menyajikan peristiwa atau pendapat yang sedang terjadi
- Dapat
menyajikan pendapat (audio) narasumber secara langsung atau orisinal
- Penulisan
dibatasi oleh detik, menit dan jam
- Makna berkala
dibatasi oleh detik, menit dan jam
- Distribusi
melalui pemancaran / transmisi
- Bahasa yang
digunakan formal dan non formal (bahasa tutur)
- Kalimat
singkat, padat, sederhana dan jelas,dengan rumus easy listening formula
(ELF)
Berdasarkan karakteristik jurnalistik radio
yang dipengaruhi factor siaran dan pendengar, maka menurut Yanris (2008) radio
miliki ciri khas tertentu, yaitu :
1. TIdak
mengenal "kebenaran reserve"
Hal tersebut memiliki maksud
bahwa berita dalam radio itu harus mengandung kebenaran yang tepat dan akurat.
Hal ini mutlak karena sekali berita itu disiarkan, tidak mungkin diralat.
Kalaupun dapat, perlu diingat sifat radio itu sendiri. Pendengar mungkin hanya
mendengar ralatnya saja, tanpa pernah mendengar apa yang diralat, atau
kebalikannya, pendengar tidak mendengar ralatnya, sehingga berita salah yang
diralat dianggap suatu kebenaran
2. Objektif
Suatu berita yang obyektif
tentunya tidak memihak, tidak cacat, dan tidak diwarnai maksud-maksud tertentu.
Sehingga hendaknya berita dalam diberikan sebagaimana adanya, tanpa maksud, dan
tujuan tertentu.
3. Bersusila
Radio ditujukan kepada semua
pendengar dengan tidak memandang status sosialnya ( khususnya program berita ).
Telah disinggung berulangkali bahwa radio bersifat auditif. Karena sifat radio
itu sendiri dan keragaman status sosial pendengarnya, hal ini tentu akan
membawa imajinasi yang berbeda pada setiap pendengarnya. Oleh sebab itu,
hendaknya kesopanan dalam penuturan perlu dijaga.
Dengan memahami secara baik
karakteristik media radio baik secara fisikal maupun fungsional mempengaruhi
karya jurnalistik yang dihasilkan, yang tentunya mengedapankan aspek auditif,
cerdas, kreatif, inovatif dan menghibur. Karya jurnalistik media radio dimaksud
dapat berupa :
- Berita Radio (Radio
news), yaitu sajian laporan berupa fakta dan opini yang mempunyai
nilai berita, penting dan menarik bagi khalayak dan disiarkan melalui
media radio secara berkala. Jenis berita radio ini terdiri dari :
- Berita
tulis (writing news/adlibs/spot news), yaitu berita pendek yang
bersumber dari media lain atau ditulis ulang atau liputan reporter yang
teksnya diolah kembali di studio
- Berita
bersisipan (news with insert), yaitu berita yang dilengkapi atau
di mix dengan sisipan suara narasumber
- News
feature, yaitu berita atau laporan jurnalistik panjang yang lebih
bersifat human interest
- Phone
in news, yaitu berita yang disajikan melalui laporan langsung reporter
via telepon
- Buletin
berita (news bulletin), yaitu gabungan beberapa berita pendek yang
disajikan dalam satu blok waktu
- Jurnalisme
interaktif (news intervieuw), yaitu berita yang bersumber pada
sebesar mungkin keterlibatan khalayak
- Majalah Radio (Radio
magazine) merupakan paket acara siaran yang dirancang dengan kekhasan
tertentu sehingga melekat dibenak yang memadukan beberapa topic, beberapa
narasumber, beberapa format penyajian dan beberapa jenis subprogram, namun
penyiarannya ditujukan pada satu karakter khalayak. Biasanya disajikan
oleh presenter yang berfungsi sebagai linker antara masing-masing
subprogram.Dari aspek penyajian Ari R Maricar (2004) membagi majalah radio
menjadi dua, yaitu :
- Majalah
radio tuturan (spoken radio magazine) yaitu majalah radio yang
hanya disajikan suara penyiar saja, tidak ada musik atau bunyi apapaun.
Majalah ini terbagi menjadi dua, yaitu majalah topic tunggal menyeluruh (one
overall topic radio magazine) ,
dan majalah radio tututan topic beragam (variety topic radio
magazine)
- Majalah
radio kombinasi (mixed radio magazine), yaitu majalah radio yang
memadukan musik, lag dan tuturan dengan target audiens heteogen.
Beragamnya model majalah
radio yang disajikan, namun dari sisi format atau kemasan program pada umumya
meliputi (1) bulletin berita ringkas, (2) liputan mendalam, (3) wawancara, (4)
documenter, (5) resensi, (6) iklan dan (7) surat pendengar.
3. Vox Pops merupakan istilah lain dari
media polling. Vox Pops di radio dilakukan dengan banyak cara, selain
menggunakan teknologi seperti SMS, Internet bisa juga dilaksanakan
langsung di lapangan. Cara melakukan wawancara vox pops oleh reporter di
lapangan.
a.
Reporter radio dengan
menggunakan mikrofon dan peralatan rekam nya berdiri di tempat dimana
masyarakat biasa berkumpul atau lalu lalang (pusat perbelanjaan, stasiun,
terminal dll). Reporter kemudian mencegah masyarakat yang lewat sambil
menanyakan topik yang sedang dibahas.
b. Tata cara
yang umum dalam melakukan vox pops di lapangan adalah:
·
“… saya reporter radio x ingin mengetahui pendapat anda tentang
…?”
·
Pertanyaan yang diajukan ke semua orang harus sama persis.
Wawancara
·
dilakukan secara beruntung dalam satu kesempatan.
·
Biasanya sudah direncanakan berapa nara sumber yang akan diwawancarai.
Hand Out Dasar Jurnalistik
Pertemuan
5
Edisi
: Jurnalistik Televisi dan Cyber Media
A. Jurnalistik Media
Televisi
Dunia
pertelevisian di negeri ini mengalami perkembangan yang cukup akseleratif. Pada
awalnya hanya satu buah, yaitu TVRI yang notabene miliki pemerintah, kemudian
berkembang menjadi cukup banyak jumlah, misalnya tahun 1989, lahir Rajawali
Citra Televisi Indonesia (RCTI), disusul dengan Surya Citra Televisi (SCTV),
Televisi Pendidikan Indonesia (TPI), Indosiar, dan Andalas Televisi
(AnTeve). Ketika reformasi bergulir, stasiun televisi menjadi berkembang,
maka muncullah stasiun swasta nasional maupun yang berskala lokal, seperti Metro
TV, Transformasi Televisi (Trans TV), TV 7 yang kini menjadi
Trans 7, Lativi menjadi TV One dan Global TV. Untuk
televisi berskala lokal antara lain JTV, Bali TV, Papua TV, SBO TV, Surabaya
TV, Delta TV, Batu TV, Jakarta TV, MK TV dan lain sebagainya, di tambah lagi
stasiun televisi yang berbasiskan jaringan kabel berlanggaanan.
Munculnya
berbagai stasiun televisi tersebut, menjadikan beberapa stasiun mulai
menggabungkan diri dalam satu manajemen, seperti RCTI, TPI, dan Global TV
tergabung dalam Media Nusantara Citra (MNC). Trans TV dan Trans 7 dimiliki oleh
kelompok usaha yang sama. Fenomena yang demikian itu cukup menarik, mengingat
secara kuantitas terjadi pengerucutan kepemilikan. Dengan kata lain, pihak
stasiun televisi di satu sisi mulai berpikir realistis tentang efisiensi pendanaan,
di sisi lain --- ini yang mengkhawatirkan--- akan terjadi
"keseragaman" informasi yang berimbas pada tidak variatifnya program
siaran yang ditawarkan.
Secara umum stasiun televisi, dapat dibagi menjadi dua,
yaitu televisi generalis dan televisi spesialis. Televisi generalis menyajikan
program atau acara beragam, dari sinetron, musik, film, acara anak-anak, hingga
berita. Untuk televisi nasional, yang termasuk dalam kategori televisi
generalis adalah RCTI, SCTV, TPI, Indosiar, AnTeve, Trans TV, , Trans 7,
termasuk TVRI. Televisi spesialis menitikberatkan pada program tertentu.
Metro TV dan TV One adalah TV spesialis yang menspesialisasikan diri
pada program berita. Tetapi, sebagaimana kita saksikan selama ini, televisi
generalis maupun televisi berita semuanya menyajikan program berita.
Sementara
itu Ashadi Siregar (2008) dalam bahasa yang lain menyebut bahwa terdapat 2
tipologi televisi, yaitu 2 tipe orientasi penyiaran,
yaitu tele-visi publik (Public TV) yang terdiri atas televise pendidikan (Educational TV) yang difungsikan sebagai
pendukung langsung proses pendidikan seperti pengajaran/instruksional. Tipe
stasiun televisi ini dapat dijabarkan adalah subsitusi pelatih/instruktur yang
mengajar warga masyarakat untuk mencapai tingkat kemahiran teknis yang dapat
digunakan dalam kehidupan sosialnya. Dikenal pula jenis televisi publik
lainnya, yang dimaksudkan sebagai institusi yang menjalankan fungsi pendidikan
sosial. Stasiun ini dimaksudkan sebagai perpanjangan dari lembaga masyarakat
yang berupaya mendidik warga masyarakat agar lebih mengapresiasi kehidupan
dalam konteks norma sosial. Dapat berupa kehidupan keagamaan, atau idealisme
sosial yang menjadi acuan bagi kehidupan normatif. Dan tipe kedua adalah
televisi komersial (Commercial TV) yang mengemban fungsi hiburan dan jurnalisme. Kalau boleh
disebut stasiun ini hadir dengan menjual informasi fiksional dan faktual. Dalam
kehadirannya ini, dia sendiri sebagai industri yang memiliki sifat ekonomi (economical traits). Pada pihak lain tvkomersial
sebagai factor penting sebagai pendukung dalam mekanisme ekonomi pasar.
Gambaran sekilas tentang
aspek fisikal dan historical televisi di negeri ini seakan menjadi daftar
panjang "keluarbiasaan" media ini sebagai sarana transformasi
informasi kepada khalayak. Karena itu. Tidak heran apabila media ini
menjadi "dewa" bagi dunia jurnalistik, dalam hanya
Keterlengkapan produk yang dihasilkannya yang tidak hanya terbatas pada sisi
verbal dan audio saja, melainkan telah menyentuh aspek audio visual (bergerak
layaknya sebuah realitas, red). Keluarbiasaan inilah yang kemudian oleh Redi
Panuji (2005) dikatakan bahwa televise memiliki kekuatan (the power of media)
dalam mempengaruhi masyarakat pemirsa televisi. Kondisi ini sangat dimungkinkan
karena televisi memiliki beberapa kemampuan sebagai berikut :
- Menciptakan
kesan (image) dan persepsi bahwa suatu muatan dalam layat kaca (visual
mapun audio visual) menjadi lebih nyata daripada reaiitasnya.
- Media massa mampu membuat
liputan apa yang terjadi menjadi lebih nyata. Tentunya atas kemampuan
reporter dalam memformulasikan apa yang terjadi (what happens) itu menjadi
symbol-simbol verbal, audio maupun
audio visual.
- Penelitian-penelitian
"uses and gratifications" yang biasanya terfokus pada efek
individu menemukan fakta bahwa komunikasi membangun makna ritual yang
menggambarkan bagaimana orang bersama-sama dan bekerja sama secara terus
menerus memaknai makna tersebut.
- Sejak lama
media diyakini menjadi semacam kanal yang berfungsi mengalirkan emosi dan
kecenderungan destruktif psikologis lainnya menjadi gejala internal
(individu)yang wajar dan normal.
Dengan berbekal kemengertian terhadap potensi dan
kekuatan televisi, maka menjadi sangat tepat apabila televisi ini dijadikan
"perangkat utama" bagi aktivitas jurnalistik. Tentunya perangkat
tersebut akan memiliki nilai guna yang luar biasa, apabila seseorang mau
memahami karakter dasarnya sebelum memanfaatkan media ini dalam berjurnalistik.
Karakter dasar ini menjadi alat pandu praktisi televise dalam menghasilkan
karya jurnalistik artistic, dengan cirri fisik
- Media televisi adalah media elektronik,
yaitu ia akan berfungsi apabila ada
tenaga listrik,
- Media audio visual gerak, artinya
visual yang ditampilkan
mengutamakan yang bergerak atau moving effects
- Media trancitory atau hanya meneruskan
isi pesan
- Media pandang dengar,
- Media personal
- Incorporate media atau media terpadu
yang dapat untuk menyajikan media
lain (slide, foto, grafik dll).
Selain keenam tersebut, perlu
juga diketahui karakter televisi yang lain, yaitu
- Proses pemancaran/transmisi,
- Isi pesan audiovisual dapat dilihat dan
di dengar sekilas sewaktu ada siaran,
- Tidak dapat diulang,
- Dapat menyajikan peristiwa/ pendapat
yang sedang terjadi,
- Dapat menyajikan pendapat (audiovisual) narasumber secara
langsung/orisinal,
- Penulisan dibatasi oleh detik, menit
dan jam,
- Makna berkala dibatasi oleh detik, menit dan jam
- Distribusi melalui pemancaran atau
transmisi,
- Bahasa yang digunakan formal dan
nonformal (bahasa tutur),
- Kalimat jelas , singkat, padat dan
sederhana.
:
Kesepuluh karakter yang menjadi cirri utama
jurnalistik televise tersebut memberikan konsekuensi pada produk-produk yan
dihasilkannya, yang secara garis besar terkategori menjadi dua bentuk besar,
yaitu
- Karya Artistic,
sebuah karya produksi yang bertumpu
atau mengutamakan keindahan dan memasukkkan tata cara kaidah jurnalistik,
dengan isi pesan boleh bersifat non factual, karenanya sasarannya memuaskan
khalayak
Contoh produk yang dihasilkannya
adalah program pendidikan dan agama, kesenian dan kebudayaan, hiburan berupa
acara musik, sinetron dan komedi, public service dan iklan
- Karya Jurnalistik,
sebuah karya produksi yang
bertumpu dan mengutamakan kecepatan dan memasukkan tata cara kaidah yang
berlaku dalam artistic, dengan isi pesan harus factual atau mengandung nilai
kebenaran karenanya sasaran akhir produksinya adalah memuaskan dan meningkatkan
kepercayaan khalayak.
Contohnya berita-berita actual
(time concern /penyajian terikat waktu), Berita-berita non actual (timeless /
penyajian tidak terikat waktu), Penerangan yang bertitik tolak dari berita
(information news), documenter yang bernilai sejarah dan lain-lain
PROSES PRODUKSI
INFORMASI
ARTISTIK JURNALISTIK
& JURNALISTIK ARTISTIK
B. Jurnalistik Cyber Media
Dari sekian model
jurnalistik, mungkin untuk sementara ini hanya jurnalistik cyber media yang
boleh dikatakan sebagai jurnalistik terkini dan tercanggih dalam hal penggunaan
media sebagai sarana tranformasi informasi. Betapa tidak, media yang digunakan
adalah media yang menggunakan teknologi terbaru, yaitu internet (interconnecting
networking). Sebuah teknologi yang mampu memberikan kebebasan seseorang
untuk mengakses informasi dari segala penjuru dunia dengan hanya meng
"klik" saja, bahkan dengan kemampuan teknologi ini pula, seseorang
dapat langsung menjadi wartawan yang menghadirkan berbagai bentuk karya
tulisnya dan mempublikasikannya melalui email atau weblog yang dimilikinya
tanpa bergantung pada lembaga informasi manapun.t
Jurnalistik Cybermedia (Cyber
Journalism) dalam bahasa yang lain dikenal dengan nama jurnalisme online.
Dikatakan demikian karena pola kerja dan pengaksesan informasi jurnalitik model
ini selalu menggunakan media internet (computer). Dengan media internet inilah produk yang
dihasilkan dari kerja jurnalistik cybermedia langsung dapat dinikmati khalayak,
tanpa terikat oleh waktu ataupun prosedur baku
lembaga penyiaran manapun, bahkan pada saat peristiwa berlangsung, informasi
dapat diakses langsung.
Dengan gambaran tersebut, maka jurnalistik model
ini memiliki beberapa eunggulan dibandingkan dengan jurnalistik model
konvensional. Beberapa keunggulan model ini tertulis dalam sebuah buku yang
berjudul Online Journalism. Principles and Practices of News for The Web
(Holcomb Hathaway Publishers, 2005), yang isinya sebagai berikut :
a. Audience Control. Jurnalisme online memungkinkan
audience untuk bisa lebih leluasa dalam memilih berita yang ingin
didapatkannya. Pembaca diberikan kebebasab untuk memilih berita yang
diinginkan. Banyak sekali informasi yang disajikan lewat internet. Misalnya
situs detik.com atau wordpress.com menyediakan jutaan informasi yang dapat
dipilih sesuka hati.
b. Nonlienarity. Jurnalisme online memungkinkan
setiap berita yang disampaikan dapat berdiri sendiri sehingga audience tidak
harus membaca secara berurutan untuk memahami.
c. Storage and retrieval. Online jurnalisme memungkinkan
berita tersimpan dan diakses kembali dengan mudah oleh audience. Sifat internet
yang online memungkinkan berita yang telah disajikan dapat diakses kapan saja.
Hal ini karena situs atau blog memiliki tempat hosting tersendiri yang dapat
menampung banyak data.
d. Unlimited Space. Jurnalisme online memungkinkan
jumlah berita yang disampaikan / ditayangkan kepada audience dapat menjadi jauh
lebih lengkap ketimbang media lainnya. Karena sifat internet yang mampu
menggunakan berbagai fitur dan fasilitas tak heran jiak berita yang disajikan
tidak terbatas. Sifat internet yang di hosting pada server yang memuat banyak
memori memungkinkan kita untuk memberikan berita secara lengkap dan
komperhensif.
e. Immediacy. Jurnalisme online memungkinkan
informasi dapat disampaikan secara cepat dan langsung kepada audience. Hanya
dengan melakukan upload lewat warnet sesorang langsung dapat memberikan
informasi kepada para pembaca. Berita yang baru saja terjadi langsung dapat
diketahui oleh pembaca melalui perantara situs atau blog.
f.
Multimedia Capability. Jurnalisme online memungkinkan bagi tim redaksi untuk
menyertakan teks, suara, gambar, video dan komponen lainnya di dalam berita
yang akan diterima oleh audience. Jurnalisme tak hanya terbatas pada tulisan
ataupun audio visual. Lewat media internet semua media dapat digunakan.
Contohlan situs RRIpro3.com yang menyiarkan siaran berita secara online lewat
internet. Ataupun dapat mengakses video strimming dari situs tersebut.
g. Interactivity. Jurnalisme online memungkinkan
adanya peningkatan partisipasi audience dalam setiap berita. Kita dapat
menemukan adanya kolom comment dalam www.kompas.com ataupun blog dari
wordpress.com maupun blogger.com. melalui kolom tersebut pembaca dapat
menanggapi informasi tersebut dan berpendapat. Kita dapat mendiskusikan
informasi tersebut dengan sesama pembaca maupun dengan moderator.
Sebagai bentuk baru dalam
berjurnalistik, maka jurnalistik cybermedia ini dapat dikenali wujudnya dengan
melihat cirri khasnya, yaitu
a.
Sifatnya yang real time. Berita,
kisah-kisah, peristiwa bisa langsung dipublikasikan pada saat keadian sedang
berlangsung. Sifat ini boleh dikatakan sama dengan media elektonik lainnya
seperti televise, radio, telegrap dan lainnya.
b.
Dari sisi penerbit, mekanisme publikasi
real time itu lebih leluasa tanpa dikerangkengi oleh periodesasi maupun jadual
penerbitan atau siaran, kapan saja dan dimana saja selama dia terhubung ke
jaringan internet maka penerbit mampu mempublikasikan berita, peristiwa, kisah
saat itu juga. Inilah yang memungkinkan para pengguna mendapatkan informasi
mengenai perkembangan sebuah peristiwa dengan lebih sering dan terbaru
c.
Menyertakan unsur-unsur multimedia adalah
karakteristik lain, dengan lain perkataan melalui jurnalisme model ini membuat
penyajian bentuk dan isi publikasi lebih kaya daripada model konvensional
d.
Bersifat interaktif. Dengan memanfaatkan
hyperlink yang terdapat pada web, karya jurnalisme online dapat menyajikan
informasi yang terhubung dengan sumber-sumber lain. Ini berarti pengguna dapat
menikmati informasi secara efisien dan efektif namun tetap terjaga dan didorong
untuk mendapatkan pendalaman dan titik pandang yang lebih luas bahkan sama
sekali berbeda.
e.
Tidak membutuhkan organisasi resmi berikut
legal formalnya sebagai lembaga pers, bahkan dalam konteks tertentu organisasi
tersebut dapat dihilangkan.
f.
Tidak membutuhkan penyunting/redaktur
seperti yang dimiliki surat
kabar konvensional, sehingga tidak ada orang yang mampu membantu masyarakat
dalam menentukan informasi mana yang masuk akal atu tidak.
g.
Tidak ada biaya berlangganan kecuali
langganan dalam mengakses internet sehingga komunikan atau audiens memiliki kebebasan
dalam memilih informasi yang diinginkan.
h.
Relatif lebih terdokumentasi Karen
tersimpan dalam jaringan digital
Berpijak dari cirri khas
tersebut, maka ada beberapa bentuk produk yang dihasilkan dalam jurnalistik
cybermedia, antara lain :
a. Lewat portal berita
Portal berita di
internet dapat dikatakan sebagai gudang informasi. Disana kita dapat memperoleh
berbagai macam informasi terkini. Lewat portal berita kita akan mendapatkan
berita terupdate yang terjadi. Kelebihan ini karena wartawan dapat melakukan
posting dari tempat meliput tanpa harus menyerahkan ke meja redaksi. Biasaynya
berita yang disajikan berasal dari orang yang berprofesi sebagai wartawan.
Portal berita lokal di Indonesia
antara lain detik.com, okezone.com, kompas.com, metrotvnews.com, dll. Untuk
portal berita asing dapat diakses di BBC.com , VOAnews.com, CNN.com,
Reuters.com, dan sebagainya.
b. Lewat weblog (blog)
Web bg atau biasa
disebut blog, adalah website yang dikelola oleh individu dengan materi-materi
aktual seputar gagasan, komentar, deskripsi kegiatan, atau materi lain seperti
gambar, video yang di-update secara berkala. Melalui blog inilah citizen
jurnalism berkembang. Kini siapa saja dapat menjadi seorang blogger, sebutan
bagi pengguna blog. Melalui blog mereka dapat memberitahukan informasi
disekitar mereka tanpa harus dihantui ketakutan. Kebebasan pers lewat internet
sangat ditunjang oleh keberadaan blog
Hand Out Dasar Jurnalistik
Pertemuan
6
Edisi
: Jurnalistik Baru dan Damai
A. Jurnalistik Baru
Perubahan yang terjadi
dalam masyarakat merupakan salah factor lahirnya pola pemikiran baru dalam
berjurnalistik. Wartawan yang telah sekian lama malang melintang dalam kegiatan
mentransformasi pesan kepada khalayak luas, merasa belum sepenuhnya puas
terhadap apa yang dilakukannya, dalam arti sisi nurani wartawan mulai berteriak
ketika dihadapkan pada kenyataan yang memang tidak berpihak pada nurani.
Sementara keinginan itu meluap begitu besar, namun "wadah"
berjurnalistiknya tidak memungkinkan, karena terbatasi oleh sekat-sekat formal
jurnalistik.
Dengan kenyataan itulah,
lahir sebuah pola yang dinamakan dengan Jurnalistik Baru. Sebuah pola yang
dirasa mampu "menjelentrehkan" semua nuraninya ketika dihadapkan pada
realitas yang tidak berpihak pada kebenaran dan keadilan.
Jurnalistik baru merupakan
cara baru dalam mengolah dan menyajikan karya jurnalistik yang dikembangkan
pada akhir abad 20, dengan cara mensimbiosiskan antara keterampilan
berjurnalistik dengan keterampilan bersastra dalam rangka mengungkap fakta
untuk membela kebenaran dan keadilan.
Mengingat pola penyampaian
pesannya memadukan kerja sastra dan jurnalistik, maka tidak semua pelaku
jurnalistik atau wartawan dapat melakukan dengan mudah. Dibutuhkan kemampuan
yang tidak cukup hanya mengandalkan kemampuan
berjurnalistik konvensional, tapi juga kecerdasan dan kehalusan emosi
penulisnya, sehingga karya ini akan menjadi sebuah karya yang mampu memadukan
antara unsure emosi dan intelektual.
Dengan konsep dasar yang
ditawarkan tersebut, maka secara sepintas lalu, siapapun akan menyangka bahwa
secara fisikal karya jurnalistik baru mirip dengan karya jurnalistik yang
berbentuk features. Karya feature memang memadukan kemampuan berjurnalistik
dengan sastra, namun ada larangan untuk memasukkkan unsure fiksi dalam berfeature.
Nah, di karya jurnalistik baru ini unsure fiksi diperkenankan masuk, namun
harus dipilih secara selektif, yaitu yang ada kaitannya dengan fakta yang
terungkap dan dikemas dengan gaya
sastra.
Secara
lebih spesifik karakter jurnalistik baru ini dapat dirinci sebagai berikut :
- Fakta yang
terungkap dikemas dengan gaya
sastra
- Memasukkan
unsure fiksi untuk memperkuat sisi fakta yang diungkap
- Isi pesan
cenderung vocal (kritis) tapi cara penyampaiannya halus
- Isi pesan
mengandung gambaran realitas yang terjadi
- Jika terjadi
benturan nilai dalam pengungkapan fakta atau isi pesan, harus diungkap
secara halus yang mampu menghubungkan karya dengan realitas
- Isi pesan
memiliki sentuhan pada persolan ; kekuasaan, keserakahan, kekejaman,
monopoli dan birokrasi, kesenjangan social dan kemunafikan, sikap apatis
dan monoton, keberhasilan dan sebagainya.
- Memadukan kerja
intelektual yang diimpitkan dengan kerja sastra
- Isi pesan harus
informative, factual, jujur, adil, terbuka dan berpihak pada kebenaran.
Sementara itu dari produk
yang dihasilkannya, bentuk produk jurnalistik baru tak ubahnya dengan produk
jurnalistik konvensional yang tersaji pada berbagai media cetak, elektronik
ataupun cyber. Artinya pembeda secara fisik memang tidak ada, yang ada hanyalah
terletak pada bobot isi pesan atau informasi yang diketengahkan, apakah
memiliki nilai ketepatan, keberanian mengungkap fakta, berani membela
kebenaran, kedalaman materi bahasan, serta kejelian dalam memberikan
kecenderungan pada topic bahasan. Contoh karya yang dapat diketengahkan sebagai
karya jurnalistik baru adalah karya Gunawan Muhammad yang diterbitkan pada
majalah tempo dengan judul "HAK"
Berikut contoh sebuah karya
jurnaliistik baru yang isi pesannya mencoba mengungkap fakta yang di tengah
masyarakat.
HARAPAN
Hampir
setengah abad lebih aku berdiam di negeri yang selalu memakai slogan Gemah
Ripah Loh Jinawi, Tata Tentrem Tata Raharjo. Tapi selama itu pula aku
mencandra, tak satupun ketemukan
wajah-wajah sumringah dari masyarakatnya. Ketentrataman yang
didambakan tak pernah kunjung datang, yang ada hanyalah sebuah penantian
panjang tanpa batas. Sayang, karena sosok judge Boo, apalagi James Bond tak
pernah mampir di negri ini, padahal kalau saja mereka mau mampir dalam semenit,
mungkin bisa jadi keadilan yang menjadi pilar kemakmuran sebuah negeri akan
terasakan, walau sekejab.
Harapan,
itulah yang tersirat dari ungkapan seorang anak negeri yang terlalu menanti
terwujudnya slogan sacral itu. Tapi yach… beginilah kenyataannya, Padahal
negeri ini telah berganti pemimpin sekian kali, bukan hanya di level nasional
bahkan di level lokalpun telah terjadi pergantian pemimpin, tapi, toh..
nyatanya slogan Gemah Ripah Loh Jinawi semakin lama semakin jauh untuk
dirasakan. Pemimpin di negeri ini inginnya menjadi pemimpin terus tanpa mau
peduli keadaan masyarakatnya. Bila peru, masyarakat dikerahkan dan
dikorbankan untuk menjadikannya pemimpin, Apa yang terjadi, masyarakat menjadi
bodoh, karena satu sama lain saling bertengkar, berpukulan dan berbunuhan, dan
anehnya semua mengatasnamakan keadilan dan rakyat jelata dan demokrasi (democrazy
?). Tidak ada perasaan segan, tidak ada perasaan malu, tidak ada perasaan
peduli, apalagi empathy, yang ada hanya perasaan jumawa, paling benar, paling
disakiti, paling mengerti keadilan, dan paling procedural dan semuanya yang
pada intinya mendukung "keakuan" anak negeri yang paling pongah.
Sekali
lagi itulah harapan, mbok ya mengerti sedikit saja para manusia yang mengaku
pemimpin negeri ini terhadap harapan rakyat yang sesungguhnya. Kalau saja mereka
mau mengerti walau sedikit, maka hakekatnya rakyat akan terpenuhi harapannya
walau sedikit juga, tapi, semua ini hanyalah harapan, kapan terwujud, kapan
bisa dinikmati, hanya anak negeri yang bernama Indonesia yang dapat
melakukannnya, sebelum anak negeri "mengimpor" pemimpin dari negeri
lain. (Arif Ramadhan, 2006)
B. Jurnalistik Damai
Munculnya pola dalam
berjurnalistik yang lebih damai (peace journalism) lebih disebabkan oleh
kesadaran yang tinggi terhadap kebutuhan informasi yang factual, berimbang dan
bersolusi. Peristiwa-peristiwa yang dimuat dengan pola jurnalistik lama yang
mengedepankan pendekatan konflik (war journalism) dinilai semetara
kalangan, sebagai upaya memprovokasi khalayak untuk tidak menggunakan potensi
"filternya" dengan baik. Hanya sisi intelektual emotif atau emosi
ansich yang digunakan wartawan dalam menarik khalayak, akibatnya khalayak
menjadi semakin larut dalam dimensi kalah-menang, benci-senang, kuat-lemah,
yang kesemuanya mengarah pada konflik yang terselesaikan dengan baik.
Kenyataan inilah yang
membuat Prof Johan Galtung, Jake Lynch, dan Annabel McGoldrick pada tahun 1970-an,
tergelitik untuk melahirkan konsep baru dalam berjurnalistik, yang kemudian
konsep itu dikenal dengan nama Jurnalisme Damai (peace journalism).
Sebuah konsep praktek
jurnalistik yang bersandar pada pertanyaan-pertanyaan kritis tentang manfaat
aksi-aksi kekerasan dalam sebuah konflik dan tentang hikmah konflik itu sendiri
bagi. Dan ruhnya adalah mengembangkan liputan yang berkiblat ke masyarakat (people
oriented).
Dengan konsep ini,
jurnalisme damai hendak menawarkan pendekatan baru dalam berjurnalistik, yaitu
pendekatan empathy. Pendekatan ini lebih ditujukan pada kondisi riil dari orang
yang menjadi objek liputannya. Jadi semisal sebuah media meliput jalannya
konflik, maka pendekatan empathy lebih diarahkan kepada korban-korban konflik daripada liputan kontinyu tentang
jalannya konflik, dan memberikan porsi memberi porsi sama kepada semua versi
yang muncul dalam wacana konflik, termasuk berusaha mengungkapkan
ketidakbenaran di kedua belah pihak, bahkan kalau perlu menyebutkan nama pelaku
kejahatan (evil-doers) di kedua belah pihak. Dengan pendekatan ini,
produk yang dihasilkan tidak lagi berbicara informasi tentang sesuatu secara
sepihak, tapi juga konsekuensi dari kemunculan informasi itu secara
konferensif.
Dengan pendekatan ini, sebenarnya jurnalisme damai hendak melihat
kemungkinan adanya pengungkapan akar sebuah masalah yang terkait dengan
sejarah, psikologi, sosal, budaya dan lainnya, jika informasi yang disajikan
berbingkai konflik dalam segala bentuknya. Dengan pola ini pula, media
diharapkan mampu mengungkap fakta lebih komprehensif dan holistic agar dapat
membantu menganalisis dan memetakan masalah untuk memunculkan alternative
solusi yang bernuansa win-win solution. Karena itupula, focus jurnalisme
damai ketika memberitakan kekerasan lebih diarahkan pada efek kekerasan yang
tidak tampak (invisible
effect of violence), seperti kerusakan sosial, kerusakan budaya moral,
hancurnya masa depan, maupun trauma pihak yang menjadi korban, bukan produk
fisik dari konflik dan kekerasan semata, seperti potongan mayat, rumah ibadah
yang hangus, wanita dan anak terlantar. Hal ini bertujuan untuk menarik empati
audience, bahwa konflik yang disertai kekerasan hanya mendatangkan kerugian. Di
samping itu aspek keseimbangan pemberitaan (cover both side) tidak hanya
pada sisi materinya saja, akan tetapi juga sumber berita. Suara korban seperti
orang tua, wanita dan anak-anak harus mendapat tempat lebih banyak dalam pemberitaan
dibanding porsi para elit yang bertikai.
Menurut Jacqueline Park (Direktur Asia
Fasific International Federation of Journalist) menyatakan, bahwa untuk
menjalankan pendekatan ini dengan baik, maka seorang wartawan harus dilengkapi
dengan tiga prinsip dasar. Ketiga prinsip dasar ini baik secara teoretis maupun
praksis harus dipegang jurnalis dalam melaksanakan tugasnya. Pertama,
membuat reportase yang adil dan akurat. Kedua, dalam situasi
konflik harusnya kita menghormati hak orang lain. Ketiga, konflik
akan menimbulkan amarah dan menghambat perdamaian. Bagaimanapun tugasnya
wartawan bukanlah menjadi pemandu sorak pada salah satu pihak.
Dengan prinsip ini, maka seorang jurnalis akan dituntut untuk
memindahkan orientasi sumber pemberitaannya dari level elite ke level
masyarakat. Menggeser angle liputannya dari fakta kekerasan ke arah pusat
penderitaan masyarakat biasa. Jurnalis harus mengungkap penderitaan para korban
dan akibat-akibat dari konflik yang menyengsarakan.
Berbagai implikasi konflik yang tidak tampak, dan lebih bersifat psikologis
harus mampu diungkap oleh jurnalis. Tujuannya untuk menggugah orang agar sadar
bahwa ekses konflik sebenarnya sangat fatal, yakni menimbulkan penderitaan
manusia laki-laki, perempuan maupun anak-anak dan orang tua
Untuk mengetahui bagaimana
karakter sesungguhnya jurnalistik damai itu dengan cara membandingkannya dengan
jurnalistik konvensional yang lebih mengedepankan pendekatan konflik (war
journalism), yaitu :
Tabel
Perbedaan jurnalisme damai dan jurnalisme perang
Point
|
Jurnalisme Damai
|
Jurnalisme Perang
|
Penentuan
angle dan fokus
|
1.
Fokus pada proses
terjadinya konflik yang terlibat, penyebab pertikaian, permasalahan yang
menyertai, berorientasi pada opsi "menang-menang"
2.
Ruang dan waktu yang
terbuka, sebab-akibat dalam perspektif sejarah
3.
Memberikan konflik apa
adanya
4.
Memberi ruang pada semua
suara / versi, menampilkan empathy dan pengertian
5.
Melihat konflik atau
perang sebagai sebuah masalah, focus pada hikmah konflik
6.
Melihat aspek humanisasi
di semua sisi / pihak
7.
Proaktif, pencegahan
sebelum konflik/perang terjadi
8.
Fokus pada dampak non
fisik kekerasan (trauma dan kemenangan, kerusakan pada struktur dan budaya
masyarakat.
|
1.
Fokus pada semua konflik
; dua kubu bertikai, hanya satu tujuan (kemenangan), situasi pepearangan,
orientasi "menang-kalah"
2.
Ruang dan waktu tertutup
; sebab akibat terbatas arena konflik, mencari siapa yang menyerang duluan.
3.
Ada fakta yang
sengaja disembunyikan
4.
Berita memilahkan
"kita-mereka", nuansa propaganda, suara dari dan untuk
"kita"
5.
Melihat "mereka"
sebagai masalah, focus pada siapa yang menang perang
6.
Dehumanisasi dipihak
"mereka" , humanisasi di pihak "kita"
7.
Reaktif ; menunggu
terjadi konflik baru buat reportase
8.
Fokus hanya pada dampak
fisik kekerasan (pembunuhanm luka, kerugian material)
|
Orientasi
liputan
|
Ketidakbenaran
belah pihak, membongkar "cover up"
|
Hanya
mengungkap ketidakbenaran "mereka" dan menutup-nutupi
ketidakbenaran "kita"
|
Cara
pandang thd akhir konflik
|
1.
Fokus pada penderitaan
semua ; perempuan, anak-anak, orang tua, memberi suara pada korban
2.
Menyebut nama pelaku
dalam kejahatan kedua belah pihak
3.
Fokus pada para penggiat
perdamaian di tingkat akar rumput.
|
1.
Fokus pada penderitaan
"kita", memberi suara hanya pada panglima perang
2.
Menyebut nama pelaku
kejahatan di pihak "mereka"
3.
Fokus pada penggiat
perdamaian di tingkat elit
|
Pandangan
thd "akhir" konflik
|
1.
Perdamaian = anti
kekerasan + hikmah
2.
Mengangkat inisiatif
perdamaian dan mencegah perang lanjutan
3.
Fokus pada struktur dan
budaya masyarakat damai
4.
Usai konflik ; resolusi,
rekonstruksi dan rekonsiliasi
|
1.
Perdamaian = kemenangan +
gencatan senjata
2.
Menyembunyikan inisiatif
perdamaian, sebelum kemenangan diraih
3.
Fokus pada fakta dan
institusi masyarakat yang terkendali
4.
Usai konflik ; siap
bertempur lagi bila "luka lama kambuh"
|
Hand Out Dasar Jurnalistik
Pertemuan
7
Edisi : Jurnalistik Islami
A. Jurnalistik Islami
Hadirnya jurnalisme islami sebenarnya merupakan
tawaran konsep alternative dalam berjunalistik yang baik dan benar. Tawaran ini
lahir sebagai reaksi kontemplatif dari banyaknya karya jurnalistik yang lebih profit
oriented daripada people oriented atau value oriented dalam
melakukan aktivitas, akibatnya banyak
karya jurnalistik hadir berdasarkan pesan sponsor yang nota bene merupakan
pelaku industrialisasi kelas tinggi. Sebenarnya hadirnya sponsor dalam
institusi jurnalistik sah-sah saja, namun ketika kehadirannya mampu
mempengaruhi bahkan mengarah-ngarahkan, maka tak ayal institusi jurnalistik
tersebut akan memproduk karya sesuai dengan pesan sponsor. Hal ini berarti,
institusi jurnalistik telah terseret dalam "rimba" industrialisasi
yang serba mengutamakan capital.
Dengan realitas seperti itu pula, sebuah
karya jurnalistik apapun tak akan pernah memiliki bobot yang kuat dalam
mencerdaskan masyarakat secara objektif, terlebih jika dikaji secara mendalam
bahwa betapa pun obyektifnya penulisan, ia tetap diwarnai konsep ideologi
penulisnya, karena tulisan merupakan curahan alam pikiran, uneg-uneg, dalam
diri seseorang dari berbagai penomena, yang punya daya pengaruh pada pembaca. Nah
itu artinya antara penulis karya dan institusi jurnalistik harus dipola
sedemikian rupa, agar produk akhir yang berupa karya jurnalistik dapat memenuhi
standart dalam mencerdaskan masyarakat secara hakiki. Dalam konteks ini pula
tawaran konsep berjurnalistik islami menjadi berperan penting guna mengangkat
berbagai kejadian ke permukaan pembaca menurut pandangan Islam.
Lalu apa sebenarnya konsep jurnalisme Islami
itu ?. Secara singkat Jurnalisme Islami merupakan aktualisasi dakwah dalam
system kepenulisan untuk mempengaruhi cara berasa, berpikir, dan bertindak
manusia untuk mewujudkan ajaran Islam di berbagai aspek kehidupan, atau dapat
dikatakan sebagai proses meliput, mengolah dan menyebarluaskan berbagai
peristiwa dengan muatan nilai-nilai Islam dengan memathui kaidah-kaidah
jurnalistik dan norma-norma yang bersumber pada al-Qur'an dan al-Hadith.
Konsep lain tentang jurnalistik Islami telah
banyak disampaikan para ahli, antara lain :
1. Emha Ainun Nadjib yang menyatakan bahwa jurnalistik islami
adalah sebuah teknologi dan sosialisasi informasi (dalam kegiatan penerbitan
tulisan) yang mengabdikan diri kepada nilai agama Islam bagaimana dan kemana
semestinya manusia, masyarakat, kebudayaan dan peradaban mengarahkan dirinya.
2. Abdul Muis, menyatakan bahwa jurnalistik islami adalah
menyebarkan (menyampaikan) informasi
kepada pendengar, pemirsa, atau pembaca tentang perintah dan larangan Allah
SWT.
3. Dedy Djamaluddin Malik, menyatakan bahwa jurnalistik islami adalah
proses meliput, mengolah dan menyebarluaskan berbagai peristiwa yang menyangkut
umat Islam dan ajaran Islam kepada khalayak.
4. Asep Syamsul Ramli, menyatakan bahwa jurnalistik Islami adalah
proses pemberitaan atau pelaporan tentang berbagai hal yang sarat dengan
nilai-nilai Islam.
Sementara
itu, karakter dasar jurnalistik Islami secara umum hampir sama dengan karya
jurnalistik yang menjunjung nilai-nilai kebenaran secara hakiki, namun ada
beberapa karakter yang dapat membedakannya, yaitu :
a. Menjunjung tinggi nilai keaktualitasan,
kefaktualitasan data informasi secara valid dan benar.
b. Mengedepankan nilai-nilai humanisme yang
ditopang oleh nilai-nilai keislaman.
c. Kritis terhadap lingkungan luar dan sanggup
menyaring informasi yang terkadang memiliki nilai bias
d. Berperan sebagai penerjemah dan frontier
spirit bagi pembaharuan dan gagasan-gagasan kreatif kontemporer
e. Transformasi nilai-nilai keislaman dalam
kerangka pemeliharaan dan pengembagangan khazanah intelektual islam
f.
Penyelaras
berbagai aliran pemikiran islam yang berkembang
Berpijak
dari karakter dasar jurnalistik islami ini, maka seorang wartawan dalam
perpektif Islam tidak hanya sekedar informasi kepada khalayak luas, tapi ia
juga harus memerankan diri sebagai mua'addib (pendidik) musaddid (pelurus
informasi), mujaddid (pembaharu pemikiran Islam), Muwahhid (pemersatu) dan
mujahid (pejuang nilai-nilai keislaman). Dengan demikian kata kunci yang dapat
disampaikan dalam membangun jurnalisme islami adalah dengan memperhatikan tiga
aspek, yaitu
(1) wawasan keislaman yang luas,
(2) keterampilan penulisan yang baik dan
(3) integritas pribadi yang tinggi
Hand Out Dasar Jurnalistik
Pertemuan
9
Edisi : Profesi Wartawan
A.
Profesi Wartawan
Berdasarkan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, disebutkan bahwa wartawan adalah
orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik. Sementara
kewartawanan adalah kegiatan yang sah berhubungan dengan pengumpulan,
pengolahan dan penyiaran fakta dan pendapat dalam bentuk berita, ulasan, gambar
dan karya jurnalistik lainnya melalui media massa.
Adinegoro menyatakan bahwa wartawan
adalah orang yang hidupnya sebagai anggota redaksi surat
kabar baik yang duduk dalam redaksi, bertanggung jawab terhadap isi surat kabar maupun di luar redaksi sebagai koresponden
yang tugasnya mencari berita, menyusunnya kemudian mengirimkannnya kepada surat kabar yang
dibantunya.
BM Diah salah seorang tokoh Pers
Nasional, sebagaimana dikutip Subur (2001) lebih suka menyebut wartawan sebagai
abdi, hamba yang sukarela dari masyarakat. Ia pembawa berita, penyuluh, pemberi
penerangan, pengajak berpikir, pembawa cita-cita.
Sementara itu Cohen (1963) mengajukan
dua konsep wartawan, pertama, wartawan atau reporter netral yang mengacu
pada gagasan pers sebagai pemberi berita, penafsir dan alam pemerintah (dalam
hal ini pers menempatkan diri sebagai saluran atau cermin).Kedua, konsep
reporter atau wartawan pemeran serta yang dikenal dengan istilah the
traditional fourth estate dalam pengertian pers sebagai wakil public,
pengkritik pemerintah, pendukung kebijakan dan pembuat kebijakan
Sebagai salah satu unsur dalam
kehidupan pers secara intern, yaitu alat (teknologi), keterampilan dan SDM,
wartawan menjadi penentu isi, kegunaan dan tujuan pers, atau dalam bahasa yang
lain dapat dikatakan bahwa wartawan merupakan otak utama yang mampu
menggerakkan roda transformasi informasi ke khalayak luas. Kondisi itulah yang
memberikan konsekuensi bahwa menjadi dan menekuni profesi wartawan tidaklah
mudah.
Profesi wartawan menurut Nasrullah
(1998) menuntut kegigihan dalam mencari keadilan dan kebenaran tanpa mengenal
jam kerja. Ia mengabdi kepada kepentingan umum, berjiwa kepeloporan dan
bergerak atas kebebasan yang bertanggng jawab, menjunjung tinggi nilai moral,
tidak gampang letih dalam mencari
pengalaman dan menambah pengetahuannya sehingga mampu meningkatkan integritas
pribadi wartawan.Dengan demikian sebenarnya profesi wartawan menuntut kesiapan
intelektual, mental dan spiritualitas personal.
Sementara itu Kustadi Suhandang (2004) menyatakan
bahwa ada beberapa istilah yang perlu dikenal dalam memahami wartawan secara
lebih luas, , baik secara formal maupun operasional, yaitu :
1.
Reporter
Reporter merupakan
factor yang terpenting dalam semua kegiatan pembuatan berita. Secara
operasional, reporter bekerja langsung di bawah penguasaan redaktur tertentu
(criminal, kota,
olah raga dan lain-lain). Mereka yang tergabung dalam jajaran redaksi disebut desk,
Dalam timnya reporter dikenal sebagai beat man dan rekan lainnya disebut
leg man. Tugas utama beat man adalah meliput keadaan kota, pengadilan, markas
besar kepolisian dan lainnya dalam kerangka mencari bahan berita dan mengadakan
pendekatan kepada para pejabat terkait. Sementara tugas Leg man adalah
secara khusus meliput peristiiwa-peristiwa tertentu oleh desk-nya.
Misalnya menangani wawancara, melaporkan suatu pidato, mengadakan penyelidikan
atau mengamati siding-sidang.
2.
Koresponden luar kota
Adalah perwakilan
sebuah lembaga pers yang tugasnya memasok berita-berita tentang daerah-daerah
yang jauh dari kantor media massanya, namun masih berada dalam satu wilayah di
mana surat
kabar atau siarannya beredar.
3.
Koresponden luar Negeri
Merupakan perwakilan
sebuah lembaga pers yang tugasnya memasok berita-berita tentang daera atau kota atau peristiwa yang terjadi di luar Negara di mana
kantor media massa
itu berada.
4.
Editor
Jurnalis yang
kerjanya di dalam kantor media massa.
Mereka bekerja dalam satu tim yang disebut redaksi, dengan tugas utamanya
adalah mengedit (menyunting dan merevisi) naskah berita ataupun artikel lainnya
yang dating dari para reporter, koresponden, penulis dan para public relations
officer.
B.
Standart Kompetensi dan Profesionalitas Wartawan
Kecerdasan seorang wartawan dalam
mengkonstruksi realitas informasi yang akan disiarakan ke khalayak luas, akan
membantu menambah pengetahuan dan wawasan serta membuka pemahaman pembaca
terjadap suatu permasalahan yang sedang terjadi. Wartawan yang cerdas karena
profesionalisme yang dibangun dengan baik dan ditandai dengan kualitas atau
mutu karya yang dihasilkan wartawan tersebut. Kualitas itulah yang kemudian
disebut dengan kompetensi wartawan (Nurulhayat, 2007)
kompetensi menjadi
faktor penting yang harus dicapai seseorang berprofesi wartawan atau jurnalis.
Sehingga terdapat pembeda antara wartawan asli dengan wartawan gadungan atau
istilah populernya "bodrek". Wartawan yang sesungguhnya (diharapkan)
bisa berpikir "seribu kali" jika hendak melakukan aksi serupa. Adanya
kompetensi, juga menjadi pembeda dalam persoalan intelektualitas dan kualitas.
Kompetensi menurut Prof.
Dr. Tarzan Sembiring (2008) merupakan kemampuan seserang dalam melaksanakan
kegiatan yang ditunjukkan dengan (a) perencanaan yang dibuat sebelum melakukan
kegiatan, (b) disiplin diri, (c) hubungan interpersonal, (d) management waktu,
(e) tim kerja, dan (f) profesionalitas. Unsur atau komponen yang harus ada
dalam kompetensi adalah pengetahuan, keterampilan, pengalaman, analisis,
pengambilan keputusan dan intuisi.
Menurut Ketua
Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Universitas Prof DR Moestopo, DR Gati
Gayatri, yang dimaksud dengan "Kompetensi Wartawan", kemampuan
seorang wartawan melaksanakan kegiatan jurnalistik yang menunjukkan pengetahuan
dan tanggung jawab sesuai tuntutan profesionalisme yang dipersyaratkan Menurut
Dewan Pers dalam buku "Kompetensi Wartawan", Pedoman Peningkatan
Profesionalisme Wartawan dan Kinerja Pers, mencakup beberapa aspek. Yakni aspek
penguasaan keterampilan, pengetahuan, dan kesadaran. Ketiga aspek itu,
diperlukan dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Kesadaran mencakup di dalamnya,
etika, hukum dan karir Pengetahuan,
meliputi pengetahuan umum, pengetahuan khusus dan pengetahuan teori jurnalistik
dan komunikasi (sesuai bidang kewartawanan). Sedangkan keterampilan, mencakup
penguasaan menulis, wawancara, riset, investigasi, kemampuan penggunaan
berbagai peralatan yang terkait dengan pekerjaan wartawan.
Dengan mengacu pada
konsepsi tersebut, maka kompetensi wartawan tidak bisa diperoleh begitu saja,
tapi harus dilakukan dengan proses yang terstruktur,apakah lewat pendidikan formal
atau pelatihan yang terarah. Persoalannya adalah, saat ini wartawan pada
umumnya bukanlah lulusan dari pendidikan tinggi khusus jurnalistik. Hal ini
tentu saja akan memperpanjang proses pencapaian kompetensi, bila dibandingkan
dengan mereka yang lulusan (S-1) jurnalistik atau komunikasi. Lebih parah lagi,
perusahaan tempat wartawan ini bernaung langsung saja melepas wartawan tanpa
terlebih dahulu di briefing dalam hal keilmuan jurnalistik atau
kewartawanan, akibatnya banyak produk yang dihasilkan mengalami kesalahan dan
tidak mengindahkan nilai-nilai jurnalistik.
Untuk mengatasi
kenyataan ini diatasi dengan adanya pelatihan jurnalistik yang disediakan oleh
sejumlah lembaga pendidikan atau pun pengelola media massa, namun hal itu masih amat jarang ada. Pendidikan
dan pelatihan menjadi penting, sehingga karir jurnalistik bisa berkembang.
Pendidikan dan pelatihan, menjadi syarat bagi seorang jurnalis jika ingin
berkembang dan profesional dalam menjalankan pekerjaan. Seorang wartawan yang
menjalankan tugas jurnalistik dengan profesional, akan dihargai di muka publik.
Pada akhirnya, seorang wartawan atau jurnalis, harus punya kemampuan dan
kompetensi di dalam menjalankan profesinya. Tanpa itu semua, mustahil kemajuan
di bidang jurnalistik bisa dicapai.
Dengan cara
pendidkan dan latihan (Diklat), maka persoalan kompetensi wartawan dapat
diselesaikan, sehingga ketika wartawan telah menyelesaikan program-program
diklat tersebut, maka seorang wartawan sebagaimana diungkapkan Kitty Yancheff
(2000) harus profesional dan memenuhi standart kompetensi kewartawanan sebagai
berikut :
1.
Kompetensi-kompetensi penulisan (writing competencies)
Kompetensi ini
terkait erat dengan kemampuan menulis wartawan. Sebuah kemampuan yang menjadi
ukuran apakah seseorang pantas disebut wartawan atau bukan. Menulis di bidang
kewartawanan, bukan sekedar menulis tulisan, tapi bagaimana menulis realitas
yang telah direkonstruksikan dalam pikiran dan perasaan. Untuk menuju kemampuan
ini seorang wartawan harus selalu menumbuhkan kepekaannya dalam menangkap
realitas (metabolisme intelektual), serta keluasannya dalam mereferensi hasil
bacaan. Dengan berbekal kedua modal ini, maka kemampuan menulis wartawan akan
benar-benar ditantang dan diketahui hasil akhirnya.
2.
Kompetensi-kompetensi performa oral (oral performance
competencies)
Bukan hanya
kemampuan menulis yang dijadikan acuan bahwa wartawan yang bersangkutan
berkualitas (kompeten), tapi juga kemampuan oral wartawan. Artinya dengan
kemampuan oral wartawan harus bisa menggali data lebih banyak, sehingga
informasi yang tersaji secara luas. Bisa dibayangkan, apabila seorang wartawan
kehilangan moment karena sulit untuk melakukan wawancara (oral
performance), akibatnya informasi tidak akan pernah tersaji kepada khalayak
luas.
3.
Kompetensi-kompetensi riset dan investigatif (research
and ivestigative competencies)
Memperhatikan
pekerjaan yang dilakukan seorang wartawan, sepintas lalu akan terkesan bahwa
wartawan hanyalah mengumpulkan informasi dan kemudian menyajikannya kepada
khalayak. Namun, ketika dicermati secara mendalam, pekerjaan yang dilakukan
seorang wartawan layaknya seorang peneliti
ketika ia harus menyeleksi sekian data yang menjadi bagian dari realitas
yang akan dikontruksinya dalam sebuah pemberitaan, yang sebelumnya telah
mengalami proses validasi. Tanpa kerja berpola peneliti, maka informasi yang
akan tersaji dan disajikan akan penuh bias dan tidak akurat. Sementara itu,
ketika informasi yang dikuak memerlukan pendekatan khusus, karena sifatnya
kasuistik yang perlu dibedah, maka wartawan mengggunakan pola detektif,
sehingga dalam sebuah kesempatan wartawan melakukan undercover untuk
mendapatkan data yang diinginkan. Dengan dua pola kerja ini sebenarnya target
yang diinginkan wartawan dalam menyampaikan informasi adalah data yang
tervalidasi dan memiliki kedalaman makna
4.
Kompetensi-kompetensi pengetahuan dasar (broad-based
knowledge competencies)
Semakn
banyaknya kasus kurang jelinya wartawan dalam menyampaikan informasi kepada
khalayak, menjadi indikator tingkat pengetahuan dasar yang dimiliki wartawan
kurang begitu baik. Kasus ketidakberimbangan dalam memberitakan, narasumber
yang dipilih berdasarkan pendekatan konflik, Spinning of word (pelintiiran
kata) dan pelibatan subjektivitas diri wartawan dalam merekonstruksi berita,
dan lain sebagainya. Kondisi ini lebih disebabkan pengetahuan wartawan tentang
hal yang prinsip dalam berjurnalistik perlu ditingkatkan lagi. Mengandandalkan
perusahaan jurnalistik untuk mengabdate atau memformat ulang, jelas membutuhkan
waktu dan biaya yang tidak kecil. Karena itu penyiapan kompetensi dasar
wartawan secara dini lebih diperhatikan dalam bentuk pendidikan dan pelatihan
secara berkelanjutan.
5.
Kompetensi-kompetensi aplikasi dasar keterampilan
komputer (skills-based computer application competencies)
Satu lagi bentuk
kompetensi dasar seorang wartawan adalah penguasaan terhadap perangkat
teknologi komputer. Saat ini menjadi syarat minimal seorang menjadi wartawan,
bukan hanya dalam hal penggunaan secara aplikatif pragmatis, misalnya hanya
untuk mengetik saja, tapi keberadaan teknologi komputer harus digunakan sebagai
teknologi yang menopang pekerjaan wartawan secara lebih baik dan efektif
efisien.
6.
Kompetensi-kompetensi dasar web (web based competencies)
Berkembangnya
teknologi informasi dan komunikasi ke basis cybermedia menjadi tantangan
tersendiri bagi wartawan. Wartawan tidak bisa lagi hanya menguasai komputer
sebagai perangkat pendukung penulisan karya, tapi harus dikembangkan lagi ke
arah penguasaan dasar dunia maya (web). Itu artinya wartawan harus melek terhadap
perkembangan teknologi yang notabene telah menghilangkan sekat-sekat batas
negara. Dengan penguasaan dasar cybermedia yang mumpuni, karya jurnalistik yang
dihasilkan semakin baik.
7.
Kompetensi-kompetensi etika (ethics competencies)
Kompetensi di
bidang ini harus ada dalam diri wartawan sebelum ia benar-benar menekuni dunia
jurnalistik. Meski persoalan etika menyangkut sisi emosi dan kepribadian
seseorang, namun dalam dunia kewartawanan menjadi sesuatu yang ditekankan.
Wartawan akan menjadi tahu etika kewartawanan, sehingga ia terhindar dari
perbuatan-perbuatan yang merugikan diri, profesi dan perusahaannya. Etika akan
menjadi dasar pijak wartawan dalam meliput, mengola dan menyebarluaskan
informasi khalayak. Tidak ada lagi wartawan amplop yang hanya bekerja jika
mendapatkan amplop dari orang atau kalangan tertentu sehingga informasi selalu
didasarkan pesanan pemilik kepentingan. Kemandirian dan idealisme tetap
terjaga, karena wartawan mengetahui dan memahami bagaimana berjurnalistik yang
beretika itu.
8.
Kompetensi-kompetensi legal (legal competencies)
Meski profesi
wartawan tidak menuntut kemahiran dalam memahami hukum atau undang-undang,
namun seyogyanya seorang wartawan memiliki pengetahuan atau pemahaman yang baik
tentang undang-undang atau sistem hukum yang berlaku dalam sebuah negara,
bahkan juga dalam sebuah bidang, apakah di bidang ekonomi, sosial, budaya dan
lainnya. Karena itu, wartawan harus belajar keras dalam memahaminya, agar apa
yang dilakukannya dalam melakukan hunting, atau mengelola data berjalan selaras
dengan sistem perundang-undangan yang berlaku dalam satu bidang. Jika
kompetensi ini tidak dimiliki, maka wartawan akan kehilangan pijakan dasar
dalam memahami sebuah data yang berkaitan dengan sistem hukum tertentu.
9. Kompetensi-kompetensi
karir (career competencies).
Kompetensi karir
sangat berkait erat dengan cita-cita seorang wartawan dalam menekuni dunia
jurnalistik. Secara ideal wartawan harus mencapai top performance-nya
dalam melahirkan karya jurnalistik, misalnya tulisannya semakin tajam dan
analitis serta variasi bahasa yang digunakan semakin membumi dan sarat akan
makna. Sementara secara teknik keorganisasian, wartawan harus memiliki
kompetensi karir yang mumpuni dalam arti ia menjadi sosok yang ready for use
ketika diminta untuk menduduki pos-pos tertentu yang lebih tinggi dalam memutar
roda manajemen perusahaan penyebar informasi. Tidak ada kata tidak mampu dan
tidak siap. Wartawan yang memiliki kompetensi karir telah mampu memprediksi
kapan ia harus mencapai top performansinya. Jika kompetensi ini tidak
dimiliki, maka tidak ada ruh yang memotivasi wartawan dalam meningkatkan
jenjang karirnya baik secara structural maupun fungsional.
Penjelasan tentang standart kompetensi
wartawan sebenarnya mengarah pada upaya membentuk wartawan professional,
wartawan yang tahu akan konsekuensi logis profesi yang ditekuninya. Dengan tahu
dan paham itulah, diharapkan profesionalitas wartawan menjadi terbentuk dengan
baik.Dalam kaitan ini pula UU Pers nomor 40/1999 Bab 1 pasal 1 ayat 10 tentang
pers dank ode etik jurnalistik wartawan Indonesia (KEWI) beserta penjelasannya
menyebut wartawan sebagai profesi yang memiliki profesionalitas, dengan
indicator, yaitu (1) otonomo, kebebasan melaksanakan dan mengatur dirinya
sendiri, (2) komitmen yang menitikberatkan pada pelayanan bukan pada keuntungan
ekonomi pribadi, (3) adanya keahlian, menjalankan suatu tugas berdasarkan
keterampilan yang berbasis pada pengetahuan bersistematik tertentu, (4)
tanggung jawab, kemampuan memenuhi kewajiban dan bertindak berdasarkan kode
etik mengacu pada norma social yang berlaku di masyarakat. (Masduki, 2003 :
36).
Dengan koonteks yang demikian itu, maka
profesionalitas wartawan dituntut bukan hanya karena idealisme yang melekat
pada profesi itu, tetapi efek media yang begitu besar terhadap public. Media massa menghadirkan pesona
yang menyedot perhatian khalayak dalam tiga hal, yaitu (1) Isolasi social.
Khalayak yang mengkonsumsi media massa
setiap saat akan menjadi eksklusif, (2) Pasar konsumsi. Khalayak akan mudah
tergoda oleh gamar hidup yang menawarkan barang konsumsi dan membentuk pasar
eksklusif. (3) Sumber kebijakan. Media
kerap lebih mudah diacu pembuat kebijakan dan pilihan-pilihan social politik
(Panuju, 1997)
Persoalannya sekarang apakah wartawan
sebuah profesi yang mengandalkan profesionalitas dalam kerjanya ?. Dalam
konteks ini McQuail (1986) memberikan criteria bangunan tentang profesi
wartawan yang professional, yaitu :
- Profesi ini
adalah pekerjaan yang bersifat fulltime, artinya jam kerja wartawan tidak
mengenal batasan waktu sebagaimana pekerja lainnya. Batasan waktu yang
dikenal dalam dunia kewartawanan adalah deadline, yaitu situasi yang
mengharuskan wartawan menyelesaikan pekerjaannya secara baik dan sempurna
- Para praktisinya
memiliki komitmen untuk mencapai hasil-hasil dari profesi itu. Wartawan
tidak hanya merupakan aktivitas jurnalisme sebagai kerja fisik, komitmen
untuk perubahan social justru lebih memicu banyak orang untuk terjun
menjadi jurnalis.
- Memasuki dan
mengikuti suatu profesi dibentuk oleh organisasi yang berstandar profesi,
yang hal itu secara professional telah diberikan dalam organisasi
kewartawanan.
- Profesi yang
diikuti oleh suatu pendidikan formal, memiliki bentuk keilmuan yang
spesialis. Media memiliki standar keterampila professional dan perguruan
tinggi yang khusus membua program studi jurnalistik makin bertaburan.
- Ia memberikan
pelayanan kepada masyarakat, pada level terendah dalam fungsi penyajian
informasi, jurnalis merupakan profesi pelayan social kepada masyarakat.
Sementara itu tokoh pers nasional
Adinegoro sebagaimana dikutip Masduki (2003) menyebut beberapa sifat atau
karakter agar wartawan memiliki profesionalitas dalam bekerja. Sifat atau
karakter tersebut adalah
1.
Minat yang mendalam terhadap masyarakat dan apa saja
yang terjadi,
2.
Sikap ramah terhadap segala jenis manusia, pandai
membawa diri,
3.
Dapat dipercaya dan menimbulkan kepercayaan orang yang dihadapinya,
4.
Sanggup berbicara dan menulis dalam bahasa Indonesia
dan asing serta local,
5.
Memiliki daya peneliti yang kuat, setia pada prinsip
kebenaran,
6.
Memiliki rasa tanggung jawab dan ketelitian,
7.
Kerelaan mengerjakan lebih dari apa yang sudah
ditugaskan,
8.
Sanggup bekerja cepat dan dalam deadline,
9.
Selalu bersikap objektif dan terbuka,
10.
Suka membaca dan memperkaya bahasa komunikasinya.
Dengan indicator yang dilontarkan
beberapa pakar tersebut, maka professional itu dapat diartikan sebagai sikap
independent, menghindari konflik kepentingan baik yang muncul karena bergabung
di asosiasi yang berorientasi politik, misalnya partai politik maupun karena
menerima pemberian sogokan dari sumber berita.
Hand Out Dasar Jurnalistik
Pertemuan
9
Edisi : Kelembagaan Pers
A. Kelembagaan Wartawan
Semenjak reformasi bergulir tahun 1998m
kelembagaan atau organisasi wartawan semakin tumbuh bak jamur di musim hujan.
Kondisi ini lebih disebabkan euphoria kebebasan yang luar biasa masyarakat
setelah sekian lama terkungkung dalam kediktatoran rezim Orde Baru. Ketika kran
kebebasan terbuka, hampir semua elemen masyarakat Indonesia menumpahkan kegembiaraan
dengan membentuk organisasi yang dirasa mampu mewadahi aspirasinya, termasuk di
lingkungan wartawan.
Hadirnya lembaga wartawan apapun nama
dan bentuknya sebenarnya memberi peraturan dasar yang mencakup asas, tujuan,
usaha, organisasi, kepengurusan, keanggotaan dan sebagainya ang menetapkan
gerak dan langkah wartawan baik perseorangan maupun berkelompok, dalam
melaksanakan profesinya, juga dengan peraturan dasar ini wartawan dapat
memperbaiki nasib, meningkatkan kesejahteraan, mempuk kesetiakawanan antar
wartawan.
Dari sekian banyak organisasi
kewartawanan, sebut saja Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Persatuan Wartawan
Muslim Indonesia , Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan lainnya, selalu
dilengkapi dengan kode etik. Tujuan organisasi juga menunjukkan keterikatan
pada usaha mempertahankan dan menjunjung tinggi nilai-nilai dasar kemanusiaan,
keadilan yang disemangati UUD 1945 dan Pancasila.
Melalui Peraturan Rumah Tangga (PRT),
disamping mencantumkan persyaratan menjadi wartawan, juga menegaskan wartawan Indonesia
diwajibkan menjadi anggota organisasi wartawan Indonesia., dengan satu tekad
mewujudkan cita-cita dan idealismenya, yaitu :
- Menjadikan
masyarakat cerdas, mandiri, sejahtera, adil dan makmur berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945.
- Menciptakan
kehidupan pers nasional yang sehat, bebas dan bertanggung jawab.
B. Institusi Pers
Kesalahan dalam memahami
istilah pers seringkali terjadi. Itu terjadi karena istilah ini seringkali
dicampuradukkan dengan istilah
jurnalistik. Orang dengan mudah saja mengatakan bahwa jurnalistik… ya.. surat kabar dan majalah,
sedang pers…dianggapnya sebagai wartawan. Padahal pers yang berasal dari kata Press
menurut kamus Oxford
diartikan sebagai business for printing books etc. Kecuali jika kata press
itu diberi awalan kata the,
sehingga menjadi the press yang diartikan sebagai journalist or the
news papers. Karena itu pers tidak sama dengan jurnalistik, meski diakui kegiatan yang
dilakukan pers adalah kegiatan jurnalistik.
Lalu kongkritnya apa itu pers.
Pers sebenarnya harus dipahami sebagai institusi social. Pemahaman ini didasari
oleh pemikiran bahwa pers itu selalu tumbuh dari dalam masyarakat (Society).
Nah, dalam konteks ini banyak orang mengatakan bahwa setiap apa yang dilakukan
dan disampaikan oleh pers secara normative merupakan manifestasi dari
artikululasi sosial atau masyarakat. Satu hal lagi yang perlu diingat bahwa
dunia pers adalah dunia informasi. Ini mengisyaratkan sebenarnya dunia pers
adalah dunia keterbukaan, transparansi, kebebasan dan kemerdekaan, menghargai
pluralisme pendapat dan kepentingan. Dalam
konteks historisitas Indonesia
pers senantiasa menyelaraskan perannya dengan kondisi dan tuntutan perjuangan
dalam suatu periode ,misalnya
1. Pada zaman penjajahan Belanda dan Jepang. Pers
nasional berperan sebagai pembangkit kesadaran nasional, pemberi inspirasi,
penggugah cita-cita dan penggelora semangat perjuangan menuju kemerdekaan dan
kedaulatan bangsa dan negara.
2.
Dalam
kurun waktu tahun 1945-1950 Pers nasional berperan sesuai dengan tuntutan dan
kondisi perjuangan fisik. Ia berperan mengobarkan semangat perjuangan rakyat
Indonesia
mengusir kaum kolonialis yang mencoba menginjak-injak kemerdekaan yang telah
diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945
3.
Ketika
rakyat Indonesia
terkotak-kota di dalam wadah Negara Republik Indonesia Serikat yang federalis.
Pers Nasional berperan menggugah kembali kesadaran berbangsa bertanah air,
berbahasa satu. Ia berhasil ikut mengantarkan rakyat Indonesia kembali ke dalam wadah Negara Kesatuan
republik Indonesia
nasional.
4.
Pers
Nasional berhasil pula melewati masa perjuangan demokrasi dalam bentuk
partisipasi fungsional yang liberal dan kemudian terpimpin. Kenyataan objektif
dalam kurun waktu 1950-1959 dan 1959-1965 memang ditandai oleh perkembangan
politik ideology itu.
5.
Sejarah
kemudian mencatat tidak kecilnya peranan pers nasional dalam mempercepat proses
penghancuran kekuatan PKI dan G.30.S-nya serta dalam proses penumbangan Orde
lama. Demikian pula halnya dalam mempercepat proses kelahiran Orde baru.
6.
Di
tahun 1998, juga tercatat betapa pers nasional juga berperan
“menggelontorkan" rezim Orde baru bersama dengan gerakan reformasi yang
didengungkan oleh mahasiswa.
Penggambaran peran pers
nasional tersebut, memang terkesan sangat manis. Pers selalu membawa angin
surga bagi sebuah perubahan, penuh dengan idealisme dan semua tetek bengeknya
yang serba positif. Ini memang harus diakui,namun perlu pengakuan juga kalau
pers pembawa “bencana” Tapi itulah fakta realitas Contoh kecil tentang kehidupan pers di masa
orde baru yang begitu tertekan, namun ketika memasuki era reformasi, pers Indonesia menemukan kembali
kebebasannya yang telah hilang karena terpasung selama 32 tahun. Seperti
layaknya orang yang baru saja bebas dari “penjara”, pers seakan ingin merasakan
semua hal yang tidak didapatkan ketika berada dipenjara. Karena itu tak heran
apabila kemudian banyak pers yang berlomba-lomba untuk jor-joran menyampaikan
informasi termasuk peristiwa politik ke khalayak luas, sebagai bentuk ekspresi
kebebasan. Meski tak jarang dalam menyampaikan informasi tersebut pers
melakukan spinning of word, atau sekedar memburu sensasi. Pers ( baik
cetak dan elektronik) yang secara idealitas dikonsepsikan menjadi Future
Journalism (Jurnalisme masa depan yang memberdayakan khalayak secara cerdas
dan bijak), menjadi terjebak pada
praktek-praktek Vulture Journalism (Jurnalisme yang menuruti selera rendah masyarakat). Akibatnya dapat ditebak banyak produk media massa yang selalu
diorientasikan pada pemenuhan selera rendah masyarakat.
Kondisi tersebut seakan menjadi
lebih parah ketika pers Indonesia,
dihadapkan pada kenyataan lapangan akan munculnya kompetisi media massa. Entah karena
apa---mungkin takut kalah bersaing--- banyak dari pers kita menerapkan
jurnalistik yang kurang terpuji. Pers menjadi berorientasi pada mengeruk
keuntungan semata (profit oriented) daripada idealisme pers. Kondisi
itulah yang disinyalir oleh Novel Ali (2001), dengan mengatakan bahwa pers atau
media massa
telah mengalami pergeseran paradigma. Jika sebelumnya obsesi media massa atau pers adalah
pemenuhan selera public media (give the press the public wants) kini
lebih memprioritaskankan pembentukan selera public ( give the press they
public should knows). Karena itulah, sangat disayangkan jika kecenderungan
tersebut menjadi penyebab terjadinya pelanggaran etika jurnalistik, kalau sudah
begini, apakah mungkin pers kita menjadi objective lagi,
Dengan memperhatikan kondisi riil lapangan sebagaimana terungkap dalam
pembahasan yang disampaikan, maka sebenarnya Pers dapat dklasifikasikan menjadi
tiga keloompok sebagai berikut:
1. Pers berkualitas (quality newspaper) Penerbitan
pers berkualitas memilih cara penyajian yang etis, moralis, intelektual. Sangat
dihindari pola dan penyajian pemberitaan yang bersifat emosional frontal. Pers
jenis ini sangat meyakini pendapat: kualitas dan kredibilitas media hanya bisa
diraih melalui pendekatan profesionalisme secara total. Ditujukan untuk
masyarakat kelas menengah atas.
2. Pers populer (popular newspaper) Pers
populer sangat menekankan nilai serta kepenti ngan komersial. Pers ini lebih
banyak dimaksudkan untuk memberikan informasi dan rekreasi (hiburan). Sasaran
pembaca pers populer adalah kalangan menengah-bawa
3. Pers kuning (yellow newspaper) Disebut
pers kuning karena penyajian pers jenis ini banyak mengeksploitasi warna. Bagi
pers kuning, kaidah baku
jurnalistik tak diperlukan. Berita tak harus berpijak pada fakta, tetapi bisa
saja didasari ilusi, imajinasi, dan fantasi.
Pers kuning menggunakan pendekatan jurnalistik SCC (Sex, Conflict, Crime). Pers
kuning lebih banyak ditujukan kepada masyarakat pembaca kelas bawah
Berdasarkan jenis dan wilayah sirkulasinya, pers dapat diklasifikasikan ke
dalam lima kelompok
yaitu:
1. Pers
komunitas (community newspaper). Pers ini ruang lingkupnya terbatas pada
komunitas tertentu yang dalam masyarakat, profesi atau lembaga tertentu
Misalnya majalah kedokteran, jurnal ilmu-ilmu sosial, surat kabar komunitas perumahan, dan lain
sebagainya.
2. Pers
lokal (local newspaper), Pers ini ruang lingkup atau wilayah
sirkulasinya tertuju pada daerah tertentu, misalnya kota atau kabupaten di wilayah Jawa timur.
Contoh yang paling kongkrit adalah keberadaan anak perusahaan Jawa Pos,
misalnya Radar Surabaya, Radar Mojokerto, Radar Kediri dan lain sebagainya
3. Pers
regional (regional newspaper). Pers ini ruang lingkupnya lebih besar
daripada pers lokal, namun tidak sampai menjangkau wilayah lain secara luas.
Misalnya pers tersebut hanya beredar di wilayah Jawa Timur, Jawa Barat dan
lainnya. Singkat kata skalanya yang pada wilayah propinsi. Contoh jenis pers
ini adalah Jawa Pos (Surabaya, Jawa Timur), Pikiran Rakyat (Bandung, Jawa
Barat), Harian Merdeka (Semarang Jawa Tengah), Bali Pos (Bali) Papua Pos
(Papua), dan lain sebagainya.
4. Pers
nasional (national newspaper). Pers ini ruang lingkupnya menjangkau
seluruh wilayah yang ada dalam sebuah negara (nasional). Isi pemberitaannya
mampu menangkap sekian informasi dari berbagai daerah di tanah air. Misalnya
Kompas, Republika, Tempo dan lain sebagainya.
5. Pers
internasional (international newspaper). Pers ini ruang lingkupnya telah
melampaui batas batas negara. Informasi yang disajikan berbagai kejadian yang
ada di seluruh dunia. Menggunakan bahasa internasional, media ini didisain
untuk melayani berbagai khalayak yang berada di luar negeri. Misalnya The Jakarta Post, Times, dan
lain sebagainya.
C. Fungsi pers
Setiap
institusi yang lahir, pastilah memiliki fungsi, termasuk dalam hal ini pers.
Pers sebagai institusi social memiliki fungsi yang penting dalam komunikasi massa dan kehidupan
masyarakat. Melalui pers manusia ingin mencapai komunikasi dengan masyarakat
luas, tidak hanya di suatu daerah kecil, tetapi daerah yang luas bahkan sampai
masyarakat dunia. Fungsi pers itu hakekatnya bersifat relatif dan bertalian dengan
keperluan beraneka ragam di dalam masyarakat dan negara yang berbeda-beda, dan
penerapan fungsi pers itu tentu tergantung dari system social dan system
politik yang dianut.
Banyak
pandangan yang dapat dimunculkan ketika berbicara fungsi pers,namun paling
tidak secara umum orang akan mengatakan bahwa pers berfungsi :
1. To inform,
fungsi ini lebih
tertuju pada fungsi dasar sebuah pers yang hanya sekedar menyampaikan informasi
atau memberitahukan beberapa kejadian yang patut diketahui khalayak secara
luas.
2. To Educate,
Mendidik secara
tidak langsung kepada masyarakat adalah fungsi yang kedua dari pers. Secara
tidak langsung memberikan konsekuensi kepada masyarakat untuk lebih cermat
terhadap informasi yang disajikan media. Karena pendidikan yang dimaksudkan
dalam fungsi ini bermakna lebih luas, tidak hanya sekedar memberikan
pengetahuan yang sifatnya pengajaran, tetapi memberikan pengetahuan yang dapat
dijadikan referensi khalayak dalam melakukan proses pendidikan kepaada diri,
keluarga, masyarakat dan Negara secara lebih luas.
3. To Entertain,
Sulit dibantah
rasanya, saat ini pers dalam produknya
selalu menyajiakan beberapa karya yang targetnya adaah menghibur. Mulai
dari menampil cerita bergambar di media cetak, sandiwara radio, hingga pada
televise yang menyiarkan acara sinetron bahkan pada program-program reality
show
4. Tools of transmitted ideas, desire or human
mind,
Fungsi ini sangat
terkait erat dengan sosialisasi nilai-nilai kepada masyarakat, dengan cara
mentransmisikan ide, hasrat dan pemikiran personal melalui media massa. Melalui media massa ini, masyarakat
dapat bertindak dan berperilaku sebagaimana yang diinformasikan media khalayak.
Meski secara tidak langsung, fungsi ini memiliki kekuatan yang luar biasa dalam
mengubah perilaku masyarakat sebagaimana perilaku yang ada dalam media massa, sifatnya yang laten
dan massive mampu membuat kondisi masyarakat yang tradisional menjadi sangat
modern secara social cultural, bahkan mampu mengeliminer keberadaan kultur
local jika masyarakat setempat tidak memaksimalkan potensi filter yang
dimililiki.
5. Bridging of aspirations
Fungsi ini
berkaitan erat dengan kemampuan pers atau media massa memediasi golongan dan kepentingan yang
ada di masyarakat. Contohnya dengan kasus pemilihan kepala daerah di suatu
tempat. Ketika masing-masing calon saling mengunggulkan diri sebagai salah satu
kandidat menyebabkan terputusnya komunikasi politik kedua belah pihak. Hadirnya
pers atau media massa menjadi mediator bagaimana
masing-masing calon memahami konsep, visi misi yang dimiliki calon lain dengan
cara membaca informasi yang disajikan media massa, dan seterusnya. Dalam konteks yang
berbeda fungsi mediasi dan sekaligus jembatan aspirasi diarahkan pada upaya
penyampaian aspirasi masyarakat kepada penguasa dalam bentuk kritik, dan saran,
atau pandangan konstruktif yang memberikan referensi penguasa dalam menentukan
sebuah kebijakan. Contoh lain yang paling sederhana pada fungsi ini adalah
keberadaan surat
pembaca, yang isinya merupakan uneg-uneg masyarakat kepada siapapun yang
dirasa perlu.
6. Organ of public information and opinion (public
sphere)
Fungsi ini
berkaitan dengan kemampuan pers dalam memainkan perannya sebagai salah satu
perangkat berkehidupan, bermasyarakat, bernegara dan berbangsa. Artinya pers
dengan media yang dimiliki akan senantiasa menyajikan berbagai informasi apapun
kepada khalayak luas, bahkan menyediakan diri untuk melakukan menyampaikan
opini kepada siapapun, baik sifatnya kritik ataupun hanya sekedar memberi
peringatan. Pers dalam konteks ini merupakan perangkat "perdebatan"
dalam sebuah ruang public yang membicarakan permasalahan bersama dan untuk
menemukan jalan keluar bersama. Melalui pola tesis, anti tesis dan sintesis
diharapkan khalayak mampu memanfaatkan pers secara maksimal. Dengan pola ini pula
akan muncul beberapa gagasan-gagasan brillian dalam menyelesaikan permasalahan,
dan masyarakat akan menjadi cerdas dan bijak karena menikmati sajian dari
berbagai sisi yang berbeda.
7. Social Controls and The watch dog of the public interest
Fungsi ini
merupakan fungsi social dan tanggung jawab moral institusi pers dalam mengawal
jalannya kehidupan social yang ada di masyarakat secara keseluruhan. Artinya
pers dengan produk informasinya menyajikan sekian banyak referensi kepada
masyarakat tentang sesuatu hal, termasuk penyimpangan-penyimpangan yang
dilakukan beberapa kalangan masyarakat. Dalam konteks ini pula perubahan social
yang sedang dan akan terjadi di masyarakat juga berada dalam control pers. Ini
bukan berarti pers sebagai pengendali, namun pers menjadi rambu-rambu
peringatan kepada siapa saja yang akan dan sedang melakukan perubahan social.
Melalui fungsi ini pula, keberadaan pemilik kebijakan akan diawasi oleh pers.
Sedikit saja melakukan penyimpangan maka pers akan melakukan
"teriakan" secara meluas, sehingga masyarakat menjadi sadar dan
segara melakukan pelurusan terhadap kebijakan yang sedang mengalami
"kebengkokan" ataupun ketidakjelasan.
C. Manajemen Pers
Sebagai lembaga
kemasyarakatan yang memiliki karya sebagai salah satu media komunikasi massa, bersifat umum dan
terbit secara teratur, maka keberdaan pers secara institusional harus diatur
secara professional dan proporsional. Secara professional diarahkan pada
pembentukan dan pengembangan sumber daya pers yang mumpuni. Misalnya pertama,
bagaimana memaksimalisasi keberadaan teknologi yang menjadi kekuatan utama
dalam mendistribusikan produk jurnalistik, Kedua, bagaimana memaksimalisasi
insane pers (wartawan) untuk berkembang semakin cerdas dan semakin kuat
"sentuhan" berjurnalistiknya, dan yang ketiga adalah produk yang
dihasilkannya semakin variatif dengan tetap terjaga kualitasnya. Sementara itu
secara proporsional, bahwa upaya pembentukan dan pengembangan sumber daya pers
tersebut didasarkan pada perhitungan yang matang dan tngkat kebutuhan yang ada.
Mengelola pers lewat sebuah
pola manajemen modern tidak dapat lepas dari prinsip manajemen secara umum,
yaitu Perencanaan (Planning), Menggerakkan (Organizing) Tindakan
(Actuating ) dan Pengawasan. (Controling ) Artinya Dalam konteks
pers, pekerjaan yang diemban Pers meliputi dua kegiatan utama, yaitu manajemen
keredaksian dan manajemen bisnis perusahaan.
1. Manajemen
Keredaksian.
Dalam manajemen keredaksian
yang ditekankan adalah upaya maksimal mengelola sumber daya manusia (SDM) yang
terlibat dalam perusahaan pers sehingga mereka sadar dan mampu secara redaksional. Kemampuan yang dimaksud
dalam hal ini adalah keterampilan yang dimiliki sejumlah wartawan dalam
melakukan liputan dan pengolahan informasi yang akan disampaikan kepada
khalayak luas. Sementara kesadaran menyangkut rasa memiliki, dan tanggung jawab
moral terhadap pekerjaan yang telah dibebankan kepadanya. Dengan dua hal ini,
maka secara langsung maupun tidak mampu mendukung eksistensi perusahaan..
Kemampuan professional
redaktur merupakan kata kunci utama dalam pengelolaan bidang keredaksian.
Keberadaan redaktur sangat menentukan kualitas produk informasi yang akan
dipasarkan oleh bidang perusahaan.Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa tugas
pokok seorang redaktur sangat terkait erat dengan tugas wartawan, reporter
serta bagian percetakan. Ini semua menyangkut komitmen bahwa media massa harus selesai cepat
sesuai dengan jadual dead line yang telah ditentukan , agar informasi cepat
sampai ke tangan khalayak luas seawall mungkin.
Menurut FX Koeworo dkk
(1994) sebenarnya kerja seorang redaktur dituntut mematuhi deadline dalam
menurunkan copy-copy beritanya. Dengan prinsip manajerial yang sama dengan
manajerial pada umumnya, seorang redaktur dituntut secara professional
menerapkan prinsip-prnsip manajemen dengan baik dan benar. Dengan demikian,
fungsi dan peran utama dari manajemen redaksional adalah mengkonsep dan
merencanakan isian produk jurnalistik dengan perencanaan penugasan. Biasanya
dalam manejemen keredaksian dibutuhkan seorang coordinator liputan yang
bertanggung jawab di lapangan.
Namun dalam beberapa kasus
di lapangan sebagaimana disampaikan
Nasrullah (1998) menunjukkan ada beberapa masalah yang kadang terjadi ketika
manajemen keredaksian ini dioperasionalisasikan, yaitu : pertama, masih
terdapat jumlah wartawan yang lebih banyak daripada volume tugas yang harus
di(pengawasan).arap, terutama dalam kegiatan peliputan berita. Penempatan
banyak wartawan ini pada awalnya dimaksudkan untuk mengantisipasi tantangan
utama bidang redaksional, menyajikan berita menarik dalam waktu yang cepat.
Dengan konsentrasi kekuatan wartawan pada suatu liputan, diharapkan bias
diperoleh suatu berita yang konprehensif menganai suatu peristiwa.
Tetapi setelah melihat
kenyataan yang terjadi di lapangan, tidak selalu jumlah wartawan yang banyak
menjamin konprehensifitas suatu berita. Yang seringkali terjadi adalah tumpang
tindih tugas pada liputan. Jika ini yang terjadi maka persaingan untuk
mendapatkan daftar yang banyak tanpa memperhitungkan sudah oleh wartawan lain.
Sebab setiap wartawan berusaha memuaskan keinginan redaktur. Akibatnya berita
yang tersaji menjadi tidak konprehensif.
Di lain pihak, kondisi yang
seperti ini mempengaruhi kinerja wartawan dalam berproduksi secara
professional. Wartawan tidak bisa memenuhi keinginan redakturnya, bahkan tidak
jarang kuaitas wartawan dianggap rendah dan selanjutnya hasilnya menjadi tidak
efisien.
Kedua,
belum rutinnya evaluasi periodic tentang koreksi kualitas penyajian dan hasil
penjualan. Ini artinya sebagai suatu lembaga bidang redaksional tidak
menentukan jadual evaluasi, sehingga factor-faktor hasil kerja keredaksian dan
penualan (pertambangan atau pengurangan) tidak terpakai dalam rangka
meningkatkan hasil penyajian.
Ketiga,
adanya wartawan yang berada di luar jaringan komunikasi bidang redaksional. Ini
dapat dilihat dari sikap redaktur yang tidak memperlakukan wartawan tidak pada
tempatnya, misalnya pemuatan berita wartawan dikaitkan dengan ikatan emosional
antara wartawan dan redaktur bersangkutan. Bila yang masuk adalah berita milik
wartawan yang punya hubungan baik dengannya, maka berita itu diusahakan dimuat,
begitu sebaliknya. Kondisi ini sebenarnya bukan hanya menunjukkan kelemahan
redaktur yang terwujud dalam kelemahan wartawan dan nilai moral redaktur yang
bersangkutan. Ia menghalangi wartawan berprestasi yang tidak punya hubungan
baik dengan memasuki jaringan komunikasi bidang redaksional.
Tabel. 1
Susunan Manajemen Keredaksian Media Cetak
Tabel. 2
Mekanisme menajemen kerdaksian (penerimaan berita)
D.
Manajemen Bisnis Perusahaan Pers
Satu yang tidak dapat dilepaskan dalam
institusi pers adalah manajemen bisnis yang diterapkan dalam institusi pers.
Penerapan ini terkait dengan muncul komuditas baru yang bernama informasi. Ini
artinya bahwa pers secara institusi sebagai pemroduk informasi harus melakukan
upaya memanaj informasi tersebut agar di satu sisi bermanfaat kepada khalayak
luas, di sisi lain informasi yang disajikan harus dapat memberikan konsekuensi
ekonomi yang dapat digunakan menunjang keberlangsungan institusi pers secara
manajerial.
Ada beberapa unsure
yang terlibat dalam manajemen bisnis perusahaan pers, pertama, pemimpin
umum. Secara hirarkhi pemimpin umum bertanggung jawab atas keseluruhan
pengusahaannya, baik ke dalam maupun ke uar. Pemimpin umum perusahan pers yang
tergabung dalam SPS (Serikat Penerbit Surat Kabar), dalam hal
pertanggungjawabannya terhadap hukum dapat melimpahkan kepada pemimpin redaksi
mengenai isi penerbitan.
Kedua, pemimpin redaksi adalah seorang
wartawan yang tergabung dalam Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) senior yang
dalam penerbitan pers bertanggung jawab atas pelaksanaan redaksional, dan wajib
melakukan hak jawab dan koreksi. Pemimpin redaksi dapat memindahkan
pertannggungjawabannya terhadap hukum mengenai tulisan kepada anggota redaksi
lain atau kepada penulisnya yang bersangkutan.
Ketiga, Pemimpin
perusahaan bertanggung jawab terhadap pengusahan penerbitan pers dan
menjabarkannya kebijaksanaan pemimpin umum di bidang usaha. Bidang ini
menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan modal perusahaan, serta
masalah-masalah financial secara umum
Keempat, Pemimpin
percetakan bagi perusahaan pers yang telah memiliki sarana cetak, menjabarkan
kebijakan yang ditetapkan pemimpin umum di bidang cetak mencetak. Tidak hanya
untuk kepentingan penerbitan sendiri, tetapi juga dalam usaha di luar
penerbitan pers. Para pemimpin percetakan ini
bergabung dalam organisasi pers SGP (serikat Grafika Pers)
Proses pengusahaan pers memang bermula
dari sector redaksi yang menyediakan hampir sebagian besar isi penerbitan,
dilengkapai sector periklanan yang memasok pendanaan, dan berakhir pada sub
sector distribusi dan sirkulasi sampai ke tangan konsumen. Sedangkan sector
percetakan yang berada di tengah kegiatan sector redaksi dan sector tata usaha,
umumnya masih belum dapat memulai proses kegiatannya apabila sector-sektor
redaksi, tata usaha, periklanan dan lainnya belum selesai dengan bahan-bahan
yang akan dicetak.
Masing-masing sector yang telah
dijelaskan tadi sangat terikat dengan jadual penyelesaian yang telah
ditetapkan. Masing-masing harus selesai tepat pada waktunya. Meleset sedikit
saja dari jadual yang telah ditetapkan, maka produk penerbitan pers akan
terjambat. Hal tersebut dapat mengancam perusahaan penerbitan dan umumnya
masyarakat yang kritis akan menilai sebagai peruahaan pers yang manajemennya
tidak beres.
Dengan melihat produk keterkaitan dalam
perusahaan penerbitan pers tersebut, dengan mudah dapat diisyaratkan bahwa
pengelolaannya harus berada di tangan yang berwibawa dan benar-benar
professional. Penerbttan pers bagaimanapun juga merupakan satu kesatuan
produksi yang meliputi gabungan sector redaksi, yaitu wartawan, koresponden,
reporter, juru fotom penyumbang artikel dan lainnya, tata usaha (perikalan,
sirkulasi distribusim langganan, agen dan lainnnya) serta percetakan (setting,
repro perwajahan dan lain sebaginya
Manajer perusahaan penerbitan pers
harus mampu menciptakan, memelihara dan mengembangkan suasana yang serasi agar
perusahaan penerbitannya dapat maju dan berkembang. Persaingan dengan
penerbitan lain harus dipandang sebagai "hikmah" untuk mawas diri di
dalam perusahaannya. Apabila persaingan dengan penerbitan lain dianggap sebagai
lawan, maka dapat dipastikan ketidaktenangan bekerja.
Berangkat dari kenyataan tersebut, maka
ada beberapa sector yang menentukan berjalan tidaknya manajemen bisnis pers
yaitu :
a.
Sektor redaksional yang dikelola oleh seorang pemimpin
redaksi, yang hingga kini tetap dianggap palin sentral dalam sebuah perusahaan
pers Di mana-mana masyarakat lebih mengenal sosok wartawan daripada mengenal
peran penting karyawan di bagian tata usaha atau percetakan.
b.
Sektor tata usaha umumnya menentukan besar kecilnya
oplah produk pers, termasuk banyak sedikitnya iklan yang dijaring dan harus
dimuat. Mengingat sector tata usaha mencakup pendanaan perusahaan penerbitan,
maka tidak mengherankan jika jumlah karyawannya cukup banyak dan bervariasi,
namun mereka dikelompokkan dalam bidang bidang tertentu, misalnya bidang sirkulasi,
iklan dan lain sebagainya.
c.
Sektor percetakan merupakan bagian paling pelik dalam
dunia penerbitan